Khawatirkan Utang dan Bunga Pemerintah, Hergun Gerindra: BPK Jangan Mendua

by
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan. (Foto: Dokumentasi Pemberitaan DPR)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melihat secara komprehensif dalam melihat utang pemerintah terkait kerangka penilaian laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan.

Hal itu menanggapi laporan Ketua BPK, Agung Firman Sampurna yang menyatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunganya.

Pasalnya, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.

“Ini kan aneh. Di satu sisi, BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah. Namun, di sisi lain mengkhawatirkan utang pemerintah,” kata Heri Gunawan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (23/6/2021).

“Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” tambahnya.

Tidak hanya itu, ketua kelompok (Kapoksi) Fraksi Partai Gerindra Komisi XI DPR ini mengatakan, dimasa pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal.

“Namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” jelas Heri Gunawan atau biasa yang disapa Kang Hergun.

Perlu diketahui, Ketua BPK dalam pidato tersebut juga menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).

Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.

Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.

Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen

Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.

Disisi realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

Kang Hergun menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal, lanjut dia, kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.

“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,”sebut dia.

Legislator dari Dapil Jabar IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini pun menambahkan, defisit melebihi 3% tersebut dibatasi hanya sampai 2022 saja. Di tahun 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3% lagi. Bahkan, kata dia, dalam masa peralihan menuju 3% tersebut angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Artinya, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.

“DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No.2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu, juga harus berani memberikan penilaian selain WTP,”ucap Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI.

Hergun menuturkan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB masih dalam koridor UU No.2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemi Covid-19. Namun terjadinya SiLPA sebesar Rp245,59 triliun harus diaudit oleh BPK. Bila ini tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.

“Saya kira BPK jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya. Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR,”pungkas dia. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *