Urgent Penguatan DPD RI, Azyumardi: Sejak Awal Berdiri Sampai Sekarang Tak ‘Bertaring’

by
Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memiliki kedudukan setara dengan DPR RI, karena juga dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Sayangnya sebagai salah satu lembaga legislatif perwakilan daerah, sejak awal berdiri hingga saat ini belum mempunyai ‘taring’ sebagaimana dimiliki DPR RI.

Penilaian ini dilontarkan Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra saat menjadi narasumber dalam acara diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Penguatan Lembaga DPD. Masih Perlukah?’, Rabu (26/1/2022), bersama Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin dan Akademisi Ilmu Politik UI, Hurriyah.

Azyumardi mengatakan ini karena DPD RI tidak memiliki kewenangan legislasi memadai sebagaimana yang dimiliki DPR RI. Bahkan dia menilai, kalau DPD RI dalam status ‘antara ada dan tiada’, mengingat perannya dalam lembaga legislatif maupun eksekutif sangat lemah, termasuk di dalam UUD 1945, Pasal 22d.

“Kemudian dalam praktik kenegaraannya juga tidak diberikan peluang. Jadi adanya DPD itu seolah-olah tidak ada, diperlakukan begitu oleh MPR. Antara ada tapi tiada,” sebutnya.

Azyumardi melihat ada beberapa Undang-Undang (UU) yang diterbitkan pemerintah bersama DPR RI yang merugikan kepentingan daerah tidak bisa dicegah DPD. Mulai UU tentang Dana Bagi Hasil, perubahan UU Minerba hingga UU Cipta Kerja (Ciptaker). Kondisi ini telah membuat pemerintah melucuti kewenangan dan hak kedaulatan rakyat daerah, dengan alasan menunda Pemilu dan Pilkada, yang imbasnya sebanyak 272 kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota akan diangkat Plt (pelaksana tugas).

“Saya salah satu orang yang menentang pengangkatan plt akibat penundaan pemilu yang seharusnya dilakukan 2022 menjadi serentak dilakukan di tahun 2024. Kenapa? Karena dikhawatirkan plt yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah adalah kroni-kroni dari eksekutif maupun legislatif. Dan kalau pun yang diangkat PNS, orang banyak khawatir, jangan-jangan diangkat juga TNI, Polri, mungkin pensiunan. Hal ini dilakukan untuk memastikan plt itu dapat memperjuangkan kepentingan, melindungi, memperjuangkan kepentingan oligarki politik yang ada di DPR maupun oligarki politik yang akan tercipta antara eksekutif dengan legislatif, kecuali DPD,” jelas Azyumardi.

DPD sendiri, sebut Azyumardi, tidak masuk ke dalam oligarki politik antara pemerintah dan DPR karena posisinya lemah. Selain itu, ia melihat executive heavy yang diterapkan di era Presiden RI ke-2 Soeharto juga telah diterapkan sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

“Executive heavy adalah kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU. Jadi, apapun yang diinginkan Presiden tidak ada yang menentang, sama sekali tidak mempersoalkan. DPR sudah dikatakan orang sekarang cuma tukang stempel kemauan Presiden,” bebernya.

Oleh karena itu menurut Azyumardi, penguatan lembaga DPD RI sangat urgent atau mendesak sekali, mengingat DPD merupakan salah satu institusi yang mewakili daerah. Memang diakuinya, cara untuk penguatan itu sendiri tidak mudah kecuali adalah dengan amandemen (perubahan) UUD 1945.

“Saat diskusi dengan Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, disebut cara yang paling efektif untuk penguatan DPD adalah dengan amendemen. Tapi waktunya tidak tepat sekarang ini, karena banyak orang menolak, bukan menolak amendemen untuk memberikan kekuatan konstitusional bagi DPD, tetapi banyak yang khawatir amandemen UUD 1945 seperti membuka kotak pandora,” ujarnya.

Meski Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pernah mengatakan amendemen UUD 1945 hanya untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), namun banyak pihak yang merasa tidak ada jaminan saat dilaksanakan amendemen tersebut, bukan hanya PPHN yang dimasukkan, tetapi juga mengubah masa jabatan presiden dari 2 kali menjadi 3 kali atau seumur hidup.

Karena itu, Azyumardi mengusulkan, bila amendemen UUD 1945 ingin dilakukan, perlu ada perjanjian hitam di atas putih antara eksekutif dan legislatif dengan wakil-wakil rakyat dari masyarakat sipil.

“Saya setuju kalau kita punya PPHN. Kalau PPHN mau dimasukkan dalam amendemen maka harus ada hitam di atas putih. Menurut saya dua saja, pertama penguatan DPD dan PPHN,” terang Azyumardi Azra. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.