Kekerasan Seksual Melonjak, Kebijakan Mendesak

by
Ilustrasi.

Oleh: R. Graal Taliawo (Pegiat Sosial)

R. Graal Taliawo.

MASYARAKAT Ternate, Maluku Utara atau bahkan masyarakat Indonesia dikejutkan dengan data yang bersumber dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Maluku Utara. Bagaimana tidak, data tersebut mencatat bahwa sepanjang Januari–Juli 2020 terdapat 69 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang didominasi dengan kasus kekerasan seksual.

Angka dan jumlah itu memang bukan patokan dasar, karena bahkan satu kasus pun tidak boleh terjadi sama sekali.

Kekerasan seksual tidak pandang pakaian korban, baik tertutup maupun terbuka. Tidak mengenal usia korban—anak-anak, muda, atau tua. Tidak mengenal pelaku—kandung, tiri, kerabat dekat, orang asing. Tidak melihat waktu—pagi, siang, sore, atau malam.

Mirisnya, di area yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab negara, yakni area publik (seperti di jalan umum dan transportasi umum) turut menyumbang terjadinya kasus yang tidak sedikit. Padahal, area publik seharusnya menjadi area yang ramah dan memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Jika sudah begini, sangat layak mempertanyakan di mana peran negara (pemerintah)? Apa saja upaya yang dilakukan negara untuk melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan perempuan? Mengapa hal-hal ini selalu terjadi? Celakanya, tren kasus menunjukkan positif, meningkat.

Minimnya negara hadir di ruang publik menjadi salah satu faktor. Itu bisa dilihat dari keterbatasan fasilitas infrastruktur “pengawas” di ruang-ruang publik, yang kemudian menjadi kesempatan bagi pelaku untuk “leluasa” melancarkan aksinya.

Pencahayaan di banyak jalan dan wilayah-wilayah tertentu masih seadanya. Belum adanya pengamanan dan pengawasan di wilayah dan area tertentu, baik yang ramai maupun sepi. Pengawasan jam operasional dan standar umum angkutan umum juga belum optimal.

Beberapa daerah atau kota mungkin sudah ramah terhadap perempuan dan anak-anak. Namun, hal serupa seharusnya dirasakan oleh masyarakat di kota-kota lain.

Negara perlu kerja ekstra untuk mencegah kasus serupa terulang di semua wilayah, tanpa terkecuali. Bisa mulai dari menciptakan daerah atau kota yang ramah terhadap perempuan dan anak-anak. Kebijakan fasilitas dan infrastruktur “pengawas” perlu menjadi agenda pembahasan.

Semisal, optimalisasi pencahayaan wilayah, patroli menyisir wilayah, keramahan angkutan umum, posko pengamanan, sistem alarm untuk pertolongan, juga mempermudah akses untuk menghubungi pihak berwajib dalam keadaan darurat.

Selain itu, CCTV atau kamera awas harus masuk dalam bentuk pengawasan di ruang publik. Perbanyak CCTV di area-area di mana kekerasan seksual potensi terjadi.

Ini bisa menjadi alternatif yang terbilang efektif dan efisien dari sisi waktu (24 jam), yang tanpa perlu mengerahkan banyak sumber daya pihak berwajib untuk patroli penuh.

Guna menyelesaikan permasalahan yang kompleks ini, kehadiran negara diperlukan, setidaknya dalam bentuk kebijakan fasilitas dan infrastruktur yang ramah terhadap anak-anak dan perempuan. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *