BERITABUANACO, JAKARTA – Insiden pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) kembali marak. Jelang setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, berbagai pelanggaran KBB dan ekspresi intoleransi menunjukkan peningkatan intensitas. Paling tidak, terdapat beberapa peristiwa menonjol yang menyita perhatian publik dalam sebulan terakhir.
Menurut Ismail Hasana, Direktur Eksekutif Setara Institute, Selasa (29/9/2020), ada beberapa poin, sebagai berikut:
1. Pada 1 September 2020, terjadi pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil.
2. Tanggal 13 September 2020, terjadi gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi.
3. 20 September 2020, terjadi penolakan ibadah dilakukan oleh sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI).
4. 21 September 2020, terjadi pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
Potret tersebut memperkuat fenomena umum terjadinya peningkatan tindakan intoleransi dan pelanggaran di KBB Indonesia. ” Sejak tahun politik nasional 2019, ada kecenderungan peningkatan ekspresi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama minoritas.”
Sepanjang tahun lalu, dalam catatan SETARA Institute, terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB. Atas kondisi aktual yang terjadi pada bulan September 2020 ini, SETARA Institute memberikan beberapa pernyataan berikut.
Pertama, SETARA Institute mengutuk setiap tindakan yang menghalang-halangi penikmatan hak konstitusional setiap warga untuk beragama dan beribadah.
Tindakan demikian tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata melanggar hak konstitusional atas KBB yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945.
Kedua, SETARA Institute menuntut pemerintah untuk hadir menjamin dan melindungi hak konstitusional minoritas.
Dalam catatan SETARA Institute sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB di Indonesia terletak pada level negara.
“Pemerintah selama ini lebih sering absen ketika kelompok minoritas diintimidasi, direstriksi, didiskriminasi, bahkan dipersekusi. Kalau pun hadir, aparat pemerintah, termasuk aparat keamanan, cenderung berpihak pada kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan mayoritas. Minoritas kerapkali dikorbankan dan dipaksa mengalah atas nama harmoni dan kerukunan,” katanya.
Ketiga, SETARA Institute mendesak Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, untuk mengambil tindakan yang memadai untuk menangani persoalan.
“Menteri Tito mesti mengambil kebijakan yang progresif, sesuai dengan otoritas legal dan demokratik yang tersedia, untuk menjamin tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif dan toleran dalam kebinekaan.”
Untuk menjadi catatan Mendagri, dalam periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah daerah merupakan aktor negara yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran KBB, dengan 157 tindakan, baik dalam bentuk tindakan langsung (violation by commission), peraturan intoleran dan diskriminatif (violation by rule), maupun pembiaran (violation by omission).
“Pemerintah pusat tidak boleh diam, melainkan harus hadir menangani penjalaran intoleransi yang secara terus-menerus terjadi di daerah,” tegasnya.(efp)