MA Kabulkan Gugatan Sengketa Pilpres 2019, Ya Sudahlah

by
Sidang di Mahkamah Agung.
Fahri Hamzah.

Oleh: Fahri Hamzah (Mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019)

KEPUTUSAN Mahkamah Agung yang sedang heboh, sebagai akibat gugatan yang dilakukan oleh Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan, atas Penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai pemenang Pemilu 2019-2024. Kita tahu keputusan itu kemudian terungkap di website Mahkamah Agung yang pada intinya, keputusan itu mengacu kepada norma-norma dan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatakan bahwa “Kemenangan seorang Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu itu terikat oleh tiga hal dalam Undang-Undang Dasar.”

Pertama adalah dia harus menang 50 % plus 1, secara populasi dari total jumlah pemilih. Kedua ia harus menang secara elektoral yang berbasis kepada Provinsi, bukan kepada Dapil (50 % + 1) di seluruh Indonesia. Ya… kalau 34 Provinsi itu, kita bagi dua kira-kira dapatnya 7 persen. Jadi minimal dia harus menang di 18 Provinsi, itu yang kedua dalam undang-undang Dasar Pasal 6a ketentuan tentang siapa yang menang dalam pemilihan presiden.

Ketiga adalah dia harus mendapatkan suara minimal 20 % pada pada mayoritas Provinsi yang ia mendapatkan kemenangan disana –maksudnya itu pada seluruh Provinsi yang ada di Indonesia.

Jokowi dan Ma’ruf Amin digugat karena salah satunya yakni poin ketiga ini bahwa Jokowi tidak mendapatkan angka 20 % pada beberapa Provinsi yang menyebabkannya tidak bisa disebut memenuhi atau menang dalam kategorisasi pasal 6 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Memang dalam UUD 1945 itu juga ada dua ketentuan yang diatur di sana, yaitu ketentuan “apabila dalam putaran pertama, atau apabila dalam putaran kedua.” Putaran pertama artinya tadi dengan syarat tadi. Jadi UUD mensyatkan kemenangan, apabila hanya satu putaran orang itu langsung dengan ketentuan itu tadi. Tentu apabila sudah masuk pada putaran kedua dengan memenangkan, atau apabila mendapatkan popular vote pun dia sudah menang kalau kita bicara putaran kedua.

Tetapi kenapa Mahkamah Agung memenangkan gugatan Rahmawati? Sebabnya adalah karena Mahkamah Agung mengambil copy dari UUD yang sebetulnya juga dikuatkan oleh UU Pemilu tahun 2017, yang pada prinsipnya meyakini atau menegaskan perlunya atau bahwa konstitusi beranggapan Pemilu itu memang harus ada 2 putaran. Dalam pengertian, di desain bahwa Pemilu di putaram pertama itu tidak punya treshold, karena itulah siapapun partai politik dapat mendaftarkan calon yang menjadi peserta Pilpres.

Kesalahan pertama yang terjadi pada dua Pemilu Presiden yang terakhir adalah karena partai politik memaksakan diri dalam satu kerja-kerja di belakang layar, orang-orang ini kelompok-kelompok dan oligarki ini memaksakan diri supaya kandidat hanya dua. Karena itu, caranya adalah mengatur UU yang menyebabkan pembatasan-pembatasan yang kemudian dapat diatur dan dilakukan agar pembatasan itu menyebabkan di ‘belakang layar’ dapat diatur kandidatnya itu cuman dua, sehingga seolah-olah pemilu langsung menuju kepada putaran kedua. Padahal menurut UUD Pemilu yang pertama adalah putaran perama, baru terjadi putaran kedua apabila dalam putaran pertama tidak ada orang yang memenuhi syarat seperti yang disebutkan di dalam Pasal 6a tadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *