BERITABUANA.CO, JAKARTA – Sebagai upaya untuk ‘mendongkrak’ citra positif di masyarakat, Kejaksaan Agung (Kejagung) kini memiliki siaran radio streaming sendiri. Namun radio streaming yang diberi nama “Sound of Justice” dan berkantor disalah satu ruangan pada Gedung Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung tersebut justru keberadaanya menimbulkan kontroversi.
Pasalnya, radio yang dibangun dengan sumber dana dari CSR (Corporate Social Responsibility) Bank BCA dan diresmikan saat peringatan Hari Lahir Kejaksaan ke-79 ini dikabarkan menelan biaya sekitar Rp5 miliar. Bahkan studio siaran yang digunakan pun memanfaatkan ruangan pressroom yang biasa digunakan anggota Forwaka (Forum Wartawan Kejaksaan Agung).
“Benar pembangunan infrasturtur Radio Sound of Justice itu memang berasal dari dana CSR BCA,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Harly Siregar menjawab pertanyaan wartawan usai peresmian Radio tersebut, Senin (2/9/2024), di Jakarta.
Meski demikian, Kapuspenkum tidak menjelaskan mengenai fungsi dan keberadaan radio tersebut. Apakah untuk kepentingan komersial atau hanya sekedar menjadi alat propaganda Kejaksaan Agung dalam melakukan pencitraan institusi ditengah mulai memburuknya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap kinerja Kejaksaan akibat ulah sejumlah oknum jaksa maupun keluarganya.
Apalagi citra Kejaksaan belakangan ini sempat tercoreng dengan berbagai persoalan yang sempat viral di tengah masyarakat. Diantaranya, gaya hedon salah seorang menantu Staf Ahli Jaksa Agung, Asri Agung Putra. Kemudian carut marutnya system promosi jabatan, dimana seseorang yang mendapatkan perlakukan khusus dengan mendapatkan promosi jabatan tiga kali dalam setahun, ada lagi soal kasus penjualan aset korupsi Jiwasraya yang diduga melibatkan Jampidsus FA hingga kontroversi soal pemberian jaksa award.
Radio Streming “Sound of Justice” awalnya memang digagas oleh mantan Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana. Ketika itu Ketut mengaku mendapatkan dana CRS dari Bank BCA untuk membiayai pembangunan radio dengan merubah ruangan preesroom menjadi studio siaran radio tersebut.
“Dana CRS-nya dari bank BCA. Kita hanya menyekat ruangan preesrom aja, tanpa menganggu keberadaan teman-teman wartawan yang mau istrirahat sambal ngopi,” ujar Ketut kepada wartawan kala itu.
Ketut Sumeda semasa menjabat Kapuspenkum memang piawai dalam mengambil hati Jaksa Agung Burhanuddin untuk mendapatkan jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali. Dia mengakui telah menggelontorkan dana ratusan juta rupiah untuk pembuatan buku Jaksa Agung Burhanuddin yang berjudul “Jaksa Agung Dalam Pemberitaan”.
“Saya habis dua ratus lima puluh juta untuk buat buku itu. Tapi belum juga mendapat promosi Kajati. Kata bapak (Jaksa Agung-red) kamu jangan jauh-jauh dari saya,” ujar Ketut dalam sebuah kesempatan bersama sejumlah wartawan di ruang kerjanya.
Ketut pun mengaku pusing jika masih terus menjabat sebagai Kapuspenkum Kejaksaan Agung, mengingat dirinya merasa lama menduduki posisi tersebut. Selain itu, biaya operasional di Puspenkum dirasakannya sangat tinggi, dan tidak sebanding dengan sumber dananya yang begitu minim.
Sementara itu mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua menilai pembangunan infrastruktur radio streaming “Sound of Justice” tersebut sarat dugaan gratifikasi.
Artinya, pembuatan radio yang berbasis internet dengan menggunakan dana CSR Bank BCA terindikasi gratifikasi, karena semua anggaran di Kementerian dan Lembaga Negara telah ditentukan dalam APBN.
“Kecuali dana tersebut dilaporkan kepada Kemenkeu sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Itu pun harus dengan persetujuan DPR,” jelas Abdullah yang dihubungi secara terpisah.
Untuk itu Abdullah menyarankan, Kejaksaan Agung sebaiknya melakukan konsultasi bersama KPK. Hal ini untuk menghindari kecurigaan dan citra negatif di masyarakat.
“Sebab, berdasarkan Pasal 12B UU Tipikor, penerima gratifikasi harus melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja. Jika melewati batas waktu tersebut, maka penerimaan dana itu bukan lagi berstatus sebagai gratifikasi melainkan sudah terkategori sebagai penerima suap,” ungkapnya.
Gratifikasi, lanjut Abdullah, yang nilainya Rp10 juta ke atas si penerima harus membuktikan bahwa dana itu bukan suap, maka ia bisa menjadi milik penerima.
“Disini berlaku kaidah pembuktian terbalik. Namun, jika penerima tidak bisa membuktikan bahwa dana itu bukan suap maka dana tersebut disita oleh KPK,” ujar Abdullah.
Sebaliknya, dia menambahkan jika nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta maka KPK yang akan membuktikan bahwa dana itu suap atau bukan. Namun jika KPK bisa membuktikan bahwa dana itu termasuk suap maka dapat disita KPK. Oisa