Fahri Hamzah: TAP MPR RI Diperlukan untuk Mengurai Problem Konstitusional dan Ketatanegaraan

by
Diskusi Empat Pilar MPR RI sekaligus bedah buku 'PPHN Tanpa Amandemen' karya Ketua MPR RI Bambang Soestyo, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (29/3/2023), bersama Ketua MPR RI Dr. Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil, Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Fahri Hamzah dan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menyampaikan 7 (tujuh) catatan untuk mengingatkan semua pihak, khususnya para politisi dan pengambil kebijakan tertinggi akan pentingnya kewaspadaan agar jangan sampai bangsa ini menghadapi jalan buntu. Salah satunya menurut Fahri adalah mengaktivasi kembali tools yang dimiliki MPR RI, berupa Ketetapan (TAP) MPR RI untuk mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan.

“Jika intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik, maka yang melakukannya adalah sebuah lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya,” kata Fahri berbicara dalam diskusi Empat Pilar MPR RI sekaligus bedah buku ‘PPHN Tanpa Amandemen’ karya Ketua MPR RI Bambang Soestyo, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (29/3/2023), bersama Ketua MPR RI Dr. Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil dan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago.

Dalam hirarkhi peraturan perundangan, tambah Fahri Hamzah, TAP MPR memang berada pada posisi ke dua di bawah UUD 1945. Namun berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002.

“Apa artinya? Artinya MPR I tidak lagi bisa membuat ketetapan, karena ketetapan produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarkhi peraturan perundangan. Maka penjelasan Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 mutlak harus dihapus dengan Revisi Undang-Undang, maka dengan demikian PPHN langsung bisa ditarik ke MPR RI dengan ditetapkan sebagai TAP MPR,” ujarnya.

Lebih dari itu, urai Fahri, bangsa besar seperti Indonesia dapat saja ditengah jalan menghadapi tantangan yang berasal dari luar dan dari dalam negeri. Dari luar misalnya, apabila terjadi perang yang berdampak pada kawasan di Indonesia.

“Dari dalam bisa terjadi misalnya, apabila kita membaca ada kesalahan yang berulang-ulang serta berpotensi menciptakan bom waktu dalam demokrasi kita. Sebut saja kesalahan berulang-ulang dalam penyelenggaraan Pemilu yang akhirnya berakibat pada buruknya sistem politik dan kacau nya sistem ketaatanegaraan,” tandasnya.

Kemudian perdebatan tentang sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam pemilu misalnya, sebagai koreksi atas degradasi mentalitas pemilih dan yang dipilih, Fahri berpandangan perlu instrumen untuk melampaui kelemahan para politisi di legislatif dan eksekutif dengan mulai mengoreksi sistem representasi secara fundamental yang akan berakibat pada perbaikan sistem politik dan penyelenggaraan negara secara utuh.

“Katakanlah jika implikasi dari perubahan itu dapat disetarakan dengan terjadinya reformasi jilid dua Pasca amandemen konstitusi dan jatuhnya rezim orba seperempat abad yang lalu. Maka kita tidak bisa lagi membiarkan ini menjadi aspirasi yang meledak dan menjadi demonstrasi dan
kerusuhan. Jadi, selayaknyalah MPR RI mengambil inisiatif untuk lahirnya sebuah ketetapan yang mengoreksi jalannya sistem Pemilu dan sistem politik yang ada sekarang,” tegasnya.

Sedang poin terakhir adalah TAP MPR harus lahir dalam keadaan darurat, ini semacam Perpu dikamar legislatif untuk melakukan koreksi jalur cepat. Oleh sebab itu perlu dipikirkan secara lebih serius situasi ke depan yang diakibatkan oleh pembiaran terus menerus dan kesalahpahaman yang tidak ada jalan keluarnya alias buntu (contitutional deadlock), baik oleh DPR, oleh Presiden dan juga Mahkamah Konsitusi, demikian urai politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu. (Jimmy)

No More Posts Available.

No more pages to load.