Jimly Asshiddiqie Ingatkan Pentingnya Menata Kembali Sistem Ketaatnegaraan

by
Anggota MPR RI dari F PKB H. Syaiful Huda dan Anggota MPR RI dari DPD RI Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie serta Peraktisi media Jhon Oktaveri menjadi narasumber pada diskusi Empat Pilar dengan tema "Putusan MK Dengan Sistem Pemilu Terbuka Memperkuat NKRI" di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/6/2023). (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jimly Asshiddiqie kembali mengingatkan pentingnya penataan kembali sistem ketatanegaraan, khususnya MPR RI. Alasannya, menurut dia, karena selama ini MPR RI tidak menjalankan kewenangannya dalam melantik presiden dan wakil presiden terpilih, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 2 UUD NRI 1945.

“MPR RI selama ini hanya sebagai pembuka Sidang Paripurna dalam pelantikan presiden dan wapres yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Padahal, kewenangan itu merupakan pendayagunaan kolektifitas kepemimpinan MPR RI dari unsur partai politik dan DPD RI, untuk memastikan MPR RI sebagai rumah bersama dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Jimly dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertema ‘Putusan MK dengan Sistem Pemilu Terbuka Memperkuat NKRI’ di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/6/2023).

Lebih lanjut Jimly mengatakan, dengan menonton dinamika capres-cawapres selama 3 tahun terakhir ini, terlihat jelas bahwa dalam sistem multi-partai, Indonesia terjebak dalam praktik transaksi politik yang sangat tidak sehat. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan integritas kepemimpinan nasional berdasarkan transactional leadership yang buruk, bukan moral and transformational leadershiup yang diidealkan.

“Dengan belajar dari kasus-kasus keretakan pasangan kepala daerah di seluruh Indonesia, pasangan capres-cawapres hasil transaksi juga berisiko pada kekompokan kepemimpinan nasional. Karena itu, sebaiknya, diadakan perubahan, amandemen UUD NRI 1945,” ujarnya.

Amandemen dimaksud, menurut Jimly adalah untuk menentukan presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, dimana semua parpol atau gabungan partai peserta pemilu berhak mengajukan capresnya sendiri-sendiri, tanpa threshold (20%). Tapi, untuk wapres cukup dipilih oleh MPR RI dari 2 calon yang diusulkan oleh presiden terpilih untuk dipilih di forum MPR RI.

“Hanya saja amandemen jangan dilakukan sekarang, tapi 2029 guna menuju Indonesia Emas 2045, agar wibawa MPR RI kuat kembali,” jelas Jimly lagi.

Sementara itu terkait putusan MK, dimana untuk Pemilu 2024 tidak ada perubahan aturan sistem proporsional terbuka, masih menurut Jimly harus dipraktikkan dengan sebaik-baiknya. Namun untuk jangka panjang, perlu ada reformasi kebijakan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh mengenai sistem pemilu dan kepartaian.

“Persoalan pemilu proporsional terbuka atau tertutup hanya satu elemen penting saja dalam upaya pelembagaan sistem politik dan modernisasi kelembagaan politik di masa depan’” tuturnya.

Sistem proporsional terbuka atau tertutup lanjut Jimly, juga harus dilihat secara komprehensif agar manfaat dan mudharatnya masing-masing dapat dipahami dengan komprehensif. Dalam jangka panjang sistem tertutup jauh lebih baik, tetapi jika diterapkan sekarang, ketika semua partai politik bersifat tertutup, tidak ada demokrasi internal, nomor urut, calon presiden, calon kepala daerah dan caleg hanya ditentukan oleh satu orang ketua umum yang dijabat secara turun temurun (dinasti), maka sistem proporsional tertutup akan sangat berbahaya dan merusak.

“Artinya, sistem proporsional tertutup itu hanya dapat diterapkan dengan jaminan manfaat yang efektif di masa depan (yaitu memperkuat parpol dan mencegah demoralisasi politik yang semakin merusak karena praktik politik uang) sambil atau setelah demokrasi internal parpol berjalan, dan sistem dinasti sudah diatur dan dibatasi, serta iklim pengambilan keputusan di internal parpol sudah terbuka,” tambahnya.

Dikatakan Jimly, untuk penataan kebijakan yang bersifat terpadu, dapat digunakan metode omnibus yang mengevaluasi semua UU yang saling kait berkait, yaitu: (i) UU Pemilu, (ii) UU Parpol, (iii) UU MD3, (iv) UU Ormas, (v) UU Penyiaran, (vi) UU PT, dan (vii) UU BUMN dengan mengatur Larangan Rangkap Jabatan dan Benturan Kepentingan Politik jabatan publik dalam satu bab tersendiri, atau dengan metode omnibus itu dibentuk UU tersendiri tentang Larangan Rangkap Jabatan dan Benturan Kepentingan.

“Yang perlu dipisahkan dalam UU ini adalah (i) urusan pribadi vs urusan dinas, (ii) antara (a) politik, (b) bisnis, (c) ormas, dan (d) media, tidak boleh tercampur-aduk seperti sekarang,” pungkasnya. (Asim/Jimmy)

No More Posts Available.

No more pages to load.