Kejagung Periksa Dua Notaris dan PPAT Atas Dugaan Korupsi Lahan 20 Hektar di Kota Depok

by
by
Gedung Bundar Kejkasaan Agung merupakan tempat penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa dua orang notaris sebagai saksi kasus dugaan korupsi pembelian tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti (APR) tahun 2012-2013.

“Kedua orang yang dimintai keterangan berinisial AB, selaku Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Z sebagai staf pada Notaris Budiharto (yang melakukan pengurusan tanah),”kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan RI, Ketut Sumedana kepada wartawan, Rabu (7/9/2022), di Jakarta.

Menurut Ketut, selain meminta keterangan kedua notaris tersebut tim penyidik juga memeriksa CW selaku Legal PT Adhi Karya dan HM selaku Kasubdit Pengukuran Kantor Pertanahan Kota Depok Tahun 2012.

Dijelaskan, bahwa pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian tanah yang dilakukan PT Adhi Persada Realti pada tahun 2012 hingga 2013.

Kasusnya berawal tahun 2012, dimana PT APR selaku anak usaha perusahaan PT Adhi Karya (Persero) Tbk itu, melakukan pembelian tanah dari PT Cahaya Inti Cemerlang di daerah Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, dan Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere, Kota Depok.

Pembelian tanah seluas kurang lebih 200.000 meter persegi atau 20 hektar itu rencananya akan digunakan untuk untuk membangun proyek perumahan atau apartemen.
PT Adhi Persada Realti membeli tanah tersebut tidak memiliki akses ke jalan umum, tetapi harus melewati tanah milik PT Megapolitan dan dalam penguasaan fisik dari masyarakat setempat.

Namun dalam perjalanannya, PT APR telah melakukan pembayaran kepada PT Cahaya Inti Cemerlang melalui rekening notaris dan diteruskan ke rekening pribadi Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Cahaya Inti Cemerlang dan dana operasional.

Diduga ada indikasi penggunaan uang negara dalam pembelian lahan tersebut. Setelah dilakukan pembayaran, PT APR baru memperoleh tanah sebagaimana dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 5316 atas nama PT APR seluas 12.595 meter persegi atau sekitar 1,2 hektar dari 20 hektar yang dijanjikan.

Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, ternyata masih ada bagian tanah yang tercatat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama PT Megapolitan yaitu SHM nomor 46 dan 47 atas nama Sujono Barak Rimba. Sisanya sebanyak 18,8 hektar masih dalam penguasaan orang lain. Ini namanya bermasalah ini.

Menurut Ketut, setiap pengadaan barang dan jasa dalam pemerintahan seharusnya memiliki standar oprasional (SOP) dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara fisik, keuangan, maupun administrasi. Seharusnya PT APR semestinya tidak membayar uang dalam jumlah yang telah disepakati, bila memang sertifikat hak atas tanah yang hendak dibeli masih belum jelas statusnya.

Anehnya meski belum ada kejelasan terkait sertifikat dan lain-lain, namun pembayaran tetap dilakukan. Dimana APR telah melakukan pembayaran kepada PT Cahaya Inti Cemerlang melalui rekening notaris dan diteruskan ke rekening pribadi Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Cahaya Inti Cemerlang dan dana operasional. Oisa