Soal Pelabelan BPA pada Galon, BPOM Harusnya Membuat Penelitian yang Komprehensif

by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Upaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pelabelan Bisphenol-A atau BPA pada galon guna ulang dinilai tidak tepat waktu dan terkesan diskriminatif. Pasalnya, disaat kondisi ekonomi masyarakat yang menurun akibat dihantam pandemi Covid-19, upaya yang ditempuh BPOM justru dapat menyumbang banyak persoalan, mulai masalah lingkungan hingga membebani industri.

Penilaian ini disampaikan Ketua Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Eva Sridiana Chaniago dihubungi media, Selasa (29/6/2022), terkait rencana BPOM tersebut.

Eva mengatakan, air minum mineral saat ini sudah menjadi konsumsi publik. Bahkan telah bertahun-tahun masyarakat mengkonsumsi air minum kemasan, dan sejauh ini belum pernah terdengar ada keluhan kesehatan yang diakibatkannya.

Eva menambahkan, BPOM seharusnya juga membuat penelitian yang komprehensif dan tidak berdasarkan asumsi atau menggunakan penelitian di luar negeri yang umumnya mengambil sampel botol bayi dan makanan kaleng, untuk dijadikan landasan pengemabilan kebijakan pada galon guna ulang karena masing-masing produk punya karakter sendiri.

“Harus ada penelitian yang detail, misal kapan waktunya, sampelnya dimana, umur berapa, berapa lama melakukan penelitian, dan apakah benar bahwa para pasien kanker itu karena BPA. Kalau tidak seperti itu, namanya asumsi,” kata dia memaparkan.

Bersifat Diskrimatif

Terkait kebijakan pelabelan ini, Direktur Salemba Institute/SI, Edi Homaidi menilai kalau rencana tersebut penuh diskriminasi dan patut diduga bertendensi pada persaingan usaha yang akan menguntungkan segelintir pelaku usaha.

“Kebijakan diskriminasi tersebut bisa dilihat secara gamblang dari pernyataan Kepala BPOM Penny Lukito baru-baru ini. Penny menyebutkan bahwa depot air isi ulang dikecualikan dari wajib tempel warning BPA,” katanya.

Bahkan, lanjut Edi Homaidi, regulasi baru BPOM soal label peringatan BPA hanya menyasar sejumlah produk air kemasan dalam minuman (AMDK) berbahan polikarbonat yang memiliki izin edar saja.

“Nah, ini ada apa? Kalau memang BPOM menganggap BPA berbahaya buat kesehatan mengapa yang disasar hanya pelaku usaha tertentu? Mengapa bukan semua? Inilah wujud diskriminasi yang kasat mata itu,” tambah Edi lagi.

Ia juga mempertanyakan pernyataan Kepala BPOM dalam sarasehan yang digelar BPOM di Hotel Sangrila pada 7 Juni 2022. Pada acara itu, Kepala BPOM mengakui penelitian yang dilakukan terhadap BPA menunjukkan resiko bahaya kesehatan seperti infertility dan sebagainya walaupun belum jelas kausalitasnya.

“(Kepala BPOM) sendiri mengakui belum jelas kausalitasnya, tapi mengapa sudah dianggap sesuatu yang pasti? Kok, berani bikin kebijakan padahal belum ada penelitian yang jelas, belum dilakukan per-review. YLKI dan BPKN juga belum pernah dapat pengaduan dari masyarakat,” cetus Edi Homaidi.

Sebelumnya beberapa pakar telah menyampaikan suara penentangan atas isu yang menghubungkan penggunaan air minum dari galon guna ulang dengan autisme. Misalnya, pakar pendidikan autisme, Imaculata Umiyati mengatakan, penyebab anak menjadi autis masih multifaktor.

“Jadi berita yang menautkan autisme dengan konsumsi air galon polikarbonat masih perlu penitian mendalami,” ujarnya seraya menembahkan, Selama AMDK sudah mendapatkan izin sudah pasti aman dikonsumsi.

Termsasuk Dokter Spesialis Anak dan Konsultan Tumbuh Kembang Anak, Bernie Endyarni Medise sebelumnya menegaskan bahwa tidak pernah ada anak menjadi autis karena mengonsumsi air galon guna ulang. Menurutnya, penyebab pastinya anak autis masih belum diketahui.

“Yang baru diketahui adalah anak auitis itu ada hubungannya dengan genetik tertentu seperti adanya autism pada kelainan Fragile X syndrome,” beber dia.

Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Alamsyah Aziz mengatakan sampai saat ini tidak pernah menemukan pengaruh BPA terhadap janin. Menurutnya, kelainan bawaan yang terjadi pada anatomi janin itu memang bisa disebabkan karena adanya exposure dari bahan-bahan yang berbahaya, termasuk BPA jika jumlah yang masuk ke dalam tubuh itu cukup tinggi, misalnya mencapai 250 miligram.

“Tapi kenyataannya, yang ditemukan pada ibu hamil, pada janin, itu sangat jauh di bawah rata-rata batas aman keamanan yang sudah ditetapkan BPOM, yaitu sebanyak 600 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Jadi migrasi BPA yang terjadi pada galon guna ulang itu sangat di bawah batas keamanan,” ujar dokter spesialis kandungan itu.

Libatkan Kalangan Industri

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta Badan BPOM melibatkan kalangan industri terkait rencana menerbitkan aturan mengenai  pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada air minum galon.

“Untuk industri ya diajak diskusi, kira-kira pelabelannya seperti apa, (agar) tidak mengganggu perusahaan,” kata Rahmad di Jakarta. (Ery)