Empat Mantan Dirut PT Krakatau Engineering Diperiksa Kejaksaan Agung

by
by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini masih terus melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi guna memperdalam dugaan kasus korupsi proyek pada pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel Tahun 2011.

Tak tanggung-tanggung, empat mantan Direktur Utama (Dirut) PT Krakatau Engineering ikut digarap penyidik, diantaranya IP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2011, BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2013, WK selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2016 dan LAD selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2018.

“Keempatnya diperiksa masih sebagai saksi terkait Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan RI, Ketut Sumedana dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (5/4/2022), di Jakarta.

Ketut menyebutkan, pemeriksaan terhadap keempat saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dalam kasus tersebut. Termasuk juga untuk melengkapi pemberkasan perkaranya.

Diketahui, kasus ini terjadi tahun 2011 hingga 2019, di mana PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batubara yang bertujuan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah.

“Karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi lebih mahal,” kata Ketut menandaskan.

Selanjunya, tanggal 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering Sumber Pendanaan Pembangunan Pabrik Blast Furnace.

Konsorsium itu, kata Ketut, awalnya dibiayai Bank ECA (Eksport Credit Agency) dari China, namun dalam pelaksanaannya ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat.

“Selanjutnya pihak PT Krakatau Steel mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank dan LPEI,” ujarnya.

Dalam perjalanannya, nilai kontrak mengalami perubahan sebesar Rp 6.921.409.421.190. Pembayaran yang telah dilaksanakan adalah Rp 5.351.089.465.278 dengan rincian Porsi Luar Negeri Rp 3.534.011.770.896 dan Porsi Lokal Rp 1.817.072.694.382.

Anehnya, pekerjaan itu dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 karena belum berjalan 100%. Alasan lainnya, setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

“Bahwa pekerjaan itu belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak,” katanya.

Ketut menambahkan, proyek tersebut juga telah melalui beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019. “Rencana awal, proyek itu selesai di tahun 2015,” pungkasnya. Oisa