Beri Kesempatan Terbuka atas Posisi Capres, Pakar Minta PT Dihapus

by
Gelora Talk bertajuk 'Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?', Rabu (5/1/2022).

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen kursi DPR RI, perlu dihapus agar dapat memberikan kesempatan yang terbuka atas posisi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

“Saya ingin melihat ke depan adalah perdebatan bermutu yang bisa dinikmati oleh rakyat dan masyarakat akan memilih dari orang-orang berkualitas untuk memimpin Indonesia ke depan,” kata Refly dalam diskusi Gelora Talk bertema “Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia: Apakah Mungkin Jadi Gelombang?”, Rabu (5/1/2022).

Dia juga menyebut bahwa salah satu contoh dampak dari presidential threshold yang terjadi saat ini karena adanya gejala Ferdinandisme dan Baharisme.

“Implikasi (PT) yang sudah kita rasakan yang bisa dibahasakan hari ini adalah adanya gejala Ferdinandisme dan Baharisme, kan kira-kira begitu dampak dari presidential threshold itu,” ujarnya.

Terlebih, Refly menilai argumentasi yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) atas penolakan terhadap gugatan PT selama ini kurang komprehensif. Berdasarkan tinjauannya, selama ini MK hanya memberikan tiga argumentasi, yaitu PT disebut memperkuat sistem pemerintahan presidensial, open legal policy, dan tata cara pengaturan lebih lanjut untuk pemilihan presiden dan wakil presiden diatur oleh Undang-Undang.

“Terhadap tiga hal tersebut, itu bisa dibantah dengan mudah. Jadi kita minta presidensial threshold dihapuskan, karena tidak ada di konstitusi. Jadi para hakim konstitusi harus melihat dalil-dalil secara legalitas, bukan keterkaitan atau keterampilan dari komposisi hakim. MK tidak boleh lagi berkelit untuk tidak mengabulkannya, karena ini jauh lebih komprehensif,” katanya.

Terkait penguatan sistem pemerintahan presidensial, Refly berargumen kalau penafsiran MK terhadap penguatan sistem pemerintahan presidensial tidak berlandaskan pada ketentuan konstitusi yang sudah expressive verbis. Menurutnya, desain konstitusional yang sudah ada justru sangat kuat.

“Dalam penafsiran konstitusi, kita tidak boleh ke mana-mana dulu kalau ada teks asli. Desain konstitusionalnya saya katakan justru sangat-sangat kuat sehingga, menurut saya, unjustified untuk mengaitkan penguatan sistem pemerintahan presidensial dengan presidential threshold,” jelasnya.

Kemudian, mengenai open legal policy, ia menyatakan argumen MK tidak benar atau ngawur. Pasalnya, hal-hal yang terkait dominasi pencalonan presiden dan wakil presiden seharusnya sudah selesai di konstitusi sehingga tidak bisa ditafsirkan secara lain dalam peraturan perundangan di bawahnya.

“Peraturan perundangan di bawahnya itu hanya bisa mengatur tata caranya. Tapi hal yang penting, seperti pembatasan threshold ini, tidak seharusnya diatur di Undang-Undang ketika konstitusi tidak mengatakan pembatasan threshold,” papar Refly.

Sementara tentang tata cara yang dimandatkan UU, ia berargumen presidential threshold ini merupakan soal substantif dengan implikasi yang luas, bukan soal tata cara.

“Karena itu, menurut saya nanti kita harus fardhu ‘ain untuk memperjuangkan (PT) ini di MK,” tandas Refly Harun. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *