BERITABUANA.CO, TANGERANG – Majelis hakim Pengadilan (PN) Negeri Tangerang, Banten, menghukum Sri Murtanti, warga Pondok Jagung, Jakarta Selatan mewajibkan membayar lawyer fee (jasa advokat) kepada kantor Edi Hardum and Partners sebesar Rp 1 miliar.
Sri Murtanti merupakan mantan klien advokat Siprianus Edi Hardum, S.H., M.H. dan rekannya Herman, S.H.,M.H., dan Hidayat, S.H.,M.H.
Hal itu sesuai dengan angka yang disepakati antara Siprianus Edi Hardum dan rekan sebagai kuasa hukum dengan Sri Murtanti sebagai klien dalam perjanjian jasa hukum tertanggal 10 Mei 2020, yang diubah 1 Desember 2021.
“Di amar putusan dikatakan, sesuai asas hukum perjanjian bahwa kesepakatan telah dibuat merupakan undang-undang dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian,” kata Edi Hardum kepada beritabuana.co, Selasa (9/11/2021).
Oleh karena itu, tergugat berkewajiban membayar lawyer fee sebagaimana telah disepakati antara penggugat dan tergugat.
Disampaikan Edi Hardum, dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai Wendra Rais, SH yang didampingi Agus Iskandar, SH, dan Nanik Handayani, SH mengatakan, jasa hukum advokat harus diberi imbalan honorarium berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Jasa advokat yang telah disepakati dan apalagi yang telah dilakukannya harus diberi honorarium sebagai diatur dalam UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” terangnya.
Di Pasal 1 ayat (1) UU Advokat berbunyi: “Advokat adalah profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang ini (UU Advokat-red).
Pasal 1 ayat (2) UU Advokat menyebutkan : “Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien”.
Kendati putusan majelis hakim itu dirasa kurang lengkap, namun Erdi Hardum dan dua rekannya yakni Herman, SH, dan Hidayat, SH menyampaikan terimakasih. Sebab, mereka telah bekerja untuk mantan kliennya.
“Kami tetap berterima kasih kepada majelis hakim. Paling tidak jerih payah kami mengurus kasus ini sampai mantan klien kami mendapatkan hak-haknya terobati atau terbayar,” kata mantan anggota Senat Mahasiswa UGM Yogyakarta ini.
Menurut Edi Hardum, advokat adalah aparat penegak hukum selain polisi, jaksa dan hakim.
“Dengan putusan ini kami menilai majelis hakim menghargai profesi advokat yang juga sama dengan hakim sebagai penegak hukum,” kata alumnus S2 Ilmu Hukum UGM ini.
Menurut Edi Hardum, putusan majelis hakim ini memberi peringatan kepada semua masyarakat, bahwa, pertama, jangan mengingkari kesepakatan yang telah dilakukan apalagi kesepakatan itu secara tertulis. Kedua, masyarakat jangan sekali-kali mengabaikan apalagi melecehkan profesi advokat.
Disampaikan Edi Hardum, dalam putusannya majelis hakim mengatakan, suatu perjanjian sah apabila memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni: (1) adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian itu; (2) adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal.
Tergugat sudah mengikatkan diri dengan penggugat untuk menangani perkara tergugat dan berjanji membayar lawyer fee. Baik tergugat maupun penggugat mempunyai kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
Unsur “suatu hal tertentu”, dari Pasal 1320 KUH Perdata sudah pasti yakni tergugat memberikan janji untuk membayar jasa penggugat sebagai advokat.
Unsur “suatu sebab yang Halal” dari Pasal 1320 KUH Perdata artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan norma-normal sosial. Bahwa kerja sama antara tergugat dengan pPenggugat dalam menangani perkara tergugat jelas tidak melanggar unsur “Suatu sebab yang Halal”.
Oleh karena itu, kata majelis hakim, , perjanjian antara tergugat dan para penggugat merupakan sah menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu, majelis hakim mengatakan, dalam hukum juga ditegaskan bahwa Sebuah Perjanjian wajib dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi,”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
“Pasal 1338 KUH Perdata itu menegaskan bahwa sebuah perjanjian harus dipernuhi karena merupakan undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang bersangkutan”. Demikian disebut Edi Hardum dalam amar putusan majelis hakim.
Disampaikan Edi,, dirinya bersama rekannya mendampingi Sri Murtanti melaporkan AN dan WT serta mantan advokatnya Sri Murtanti, BS ke Mabes Polri dengan Nomor: LP/B/0254/V/2020/BARESKRIM tanggal 14 Mei 2020.
“Dalam laporan itu, kami menduga para terlapor menggelapkan saham 9.500 lembar saham dan uang milik klien kami waktu itu Sri Murtani sebesar sekitar Rp 14 miliar,” kata Edi Hardum.
Laporan tersebut sekitar Desember 2020 naik ke tingkat penyidikan dan tinggal penetapan tersangka.
Mendekati penetapan tersangka, lanjutnya, Sri Murtanti mencabut surat kuasa dari Edi Hardum dan rekan, yang ditindaklanjuti mencabut perkara a quo di Mabes Polri serta melakukan kesepakatan perdamaian dengan terlapor AN dan WT.
“Tetapi dalam kesepakatan perdamaian antara Sri Murtanti dengan AN dan WT itu tidak ada nama BFS. Kami dapat informasi, Sri Murtanti akan melaporkan tersendiri mantan advokatnya itu,” kata Edi Hardum.
Padahal, tambah Edi, kinerjanya dan dua rekannya mendampingi Sri Murtanti dianggap sukses. Sebab, sebelum Edi Hardum dan rekannya melaporkan terlapor ke Mabes Polri, Edi Hardum melalui Sri Murtanti menyurati AN untuk meminta pertanggungjawaban keuangan PT EOD T kepada Sri Murtanti sebagai owner dan Komisaris Utama.
“Namun AN menjawab melalui suratnya, bahwa Sri Murtanti sudah tidak mempunyai hak, tidak mempunyai asset dan uang lagi di PT EOD T karena semuanya telah Sri Murtanti terima melalui kuasa hukumnya BFS,” pungkasnya.
Terkait putusan tersebut, Sri Murtanti belum dapat dihubungi, apakah akan melakukan upaya hukum atau tidak. (Sormin)