HNW Tegaskan, MPR Tidak Memiliki Agenda Perpanjang Masa Jabatan Presiden

by
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menegaskan, salah satu dari Empat Pilar yang disosialisasikan MPR adalah UUD NRI 1945. Karena itu, sudah seharusnya MPR jadi teladan dalam memegang teguh pelaksanakan ketentuan Konstitusi dan menjalankan amanat reformasi termasuk yang terkait dengan pembatasan masa jabatan Presiden.

“Terlebih belakangan, masa jabatan Presiden ini banyak dipolemikkan oleh pihak-pihak dari luar MPR,” kata Hidayat Nur Wahid saat Sosialisasi Empat Pilar MPR bersama Yayasan Al Barokah di Jayapura, Papua, Sabtu kemarin (11/9/2021)

Terkait perubahan (amandemen) terbatas UUD 1945, Hidayat menyebut ada dua isu yang dibincangkan publik, baik untuk menghadirkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara), maupun perpanjangan masa jabatan Presiden. Semua itu penting untuk didudukan, sesuai fakta aturan konstitusi dan dinamika yang ada di MPR.

“Karena masih banyak manuver dan isu di luar MPR terkait wacana amandemen,  ini yang bisa mengalihkan isu dan menggerus kepercayaan Rakyat terhadap Parlemen serta Lembaga Negara,” ujarnya.

Namun, HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, peluang terjadinya amandemen diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, bahwa amandemen bisa dilakukan, jika memenuhi persyaratan. Apalagi juga ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama PPHN.

“Tetapi itu bukanlah rencana, apalagi program final MPR untuk melakukan amandemen. Melainkan pelaksanaan terhadap rekomendasi dari MPR  periode sebelumnya. Dan kajian untuk hadirnya PPHN itu tidak mesti hasilnya adalah dengan amandemen UUD NRI 1945,” tegas dia.

Faktanya tidak seluruh fraksi di MPR RI, kata HNW menyetujui amandemen UUD untuk hadirkan PPHN. Misalnya, Fraksi PKS istiqamah menolaknya. Bahkan    menurut PKS, PD dan Gerindra, PPHN bisa dihadirkan tanpa amandemen. Melainkan cukup melalui UU dengan dimasukkan ke dalam UU melalui penguatan UU yang sudah ada.

“Apalagi menimbang Negara yang lagi berjuang atasi covid-19, sementara rencana materi amandemen bukan hal yang sangat diperlukan oleh Negara dan Rakyat. Argumentasi penolakan amandemen itu semakin kuat,” ujarnya. 

Menurut HNW, wacana itu juga belum jadi keputusan final, karena kajiannya belum selesai dan belum disepakati.  Apalagi belum ada satupun anggota MPR RI yang mengusulkannya. Merujuk Pasal 37 UUD NRI 1945 ada batasan aturan yang sangat jelas dan tegas. Yaitu, usulan yang bisa ditindaklanjuti oleh MPR untuk melakukan amandemen hanyalah yang diusulkan oleh Anggota MPR, dengan aturan yang sangat ketat.

“Bukan yang diwacanakan oleh individu mantan pimpinan partai, atau aktivis lembaga survei, maupun kelompok relawan. Apalagi, Anggota MPR yang mengusulkan amandemen UUD NRI 1945 minimal berjumlah 1/3 dari total anggota MPR atau 237 anggota MPR dari 711 anggota MPR,” sebutnya.

Bahkan, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan alasan perubahan dan alternatif usulannya. Itu semua harus sudah dipenuhi sebelum Sidang Paripurna MPR. Karena, begitulah aturan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945.

“Jadi tidak bisa tiba-tiba ada yang menyalip ditikungan dengan mengusulkan pasal titipan baru, soal perpanjangan masa jabatan Presiden misalnya. Jadi, syaratnya sangat ketat. Berbeda dengan kasus-kasus lain, ataupun ketentuan UUD 45 sebelum perubahan, yang bisa terjadi keputusan/tambahan yang mendadak,” jelasnya. 

Oleh karena itu, menurut HNW, proses amandemen UUD NRI 1945 di MPR RI apabila memang akan terjadi, hanya akan dilakukan secara ketat sesuai dengan ketentuan UUD NRI yang berlaku. Bukan karena desakan opini ataupun survey.

Karenanya HNW yang juga Wakil Ketua Majlis Syura PKS, percaya bahwa ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi dua kali masa jabatan periode Presiden tidak akan  diamandemen.

“Tidak ada kajian dan agenda MPR terkait perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.  Yang baru ada kajian terkait dengan PPHN. Itu pun tidak semua Fraksi dan Kelompok DPD setuju diberlakukannya melalui amandemen UUD NRI 1945,” tuturnya lagi. 

Di tengah manuver yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden, HNW melihat, tidak ada satupun Pimpinan MPR maupun Anggota MPR yang secara resmi ikut mengusulkan perubahan UUD NRI untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.

“Itu tandanya, memang di MPR tidak ada agenda perubahan UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan Presiden,” tambahnya. 

Karenanya, dia kembali mengingatkan bahwa Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode merupakan ketentuan yang krusial. Itu merupakan tuntutan reformasi yang terpenting. Dari 6 tuntutan Reformasi, salah satunya adalah mengamandemen UUD (Pasal 7) untuk membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode saja.

Menurut HNW bangsa Indonesia telah melewati sejarah kelam di mana Presiden yang terlalu lama berkuasa, bisa dipilih berkali-kali tanpa batasan, sehingga menghadirkan penumpukan kekuasaan yang ujungnya otoriter dan koruptif. Itu terjadi karena UUD tidak tegas membatas masa jabatan presiden. Jadi, agar sejarah itu tidak terulang, maka Reformasi menghendaki hadirnya pembatasan tersebut.

“Dan itulah pasal yang paling pertama diubah oleh MPRRI era reformasi, pada tahun 1999. Sekalipun demikian, rakyat dan para Akademisi penting untuk terus mengawal konsistensi MPR dalam melaksanakan seluruh ketentuan UUD NRI 1945 termasuk yang terkait manuver untuk perpanjangan masa jabatan Presiden,” tegasnya.

Berkali-kali MPR sudah menegaskan dan mensosialisasikan ketentuan UUDNRI 1945 soal adanya pembatasan masa jabatan Presiden maksimal 2 periode (pasal 7 UUD NRI 1945) sehingga tidak bisa diperpanjang menjadi 3 periode. Atau bahwa Pemilu untuk memilih Presiden atau Anggota DPR/DPRD itu dilakukan sekali dalam lima tahun (pasal 22E ayat (1) dan (2)), sehingga masa jabatan Presiden tidak bisa ditambah dengan 3 tahun misalnya, karena tak sesuai dengan ketentuan UUD. 

Hidayat menilai pentingnya kejujuran mentaati ketentuan UUD seperti terkait dengan perpanjangan masa jabatan Presiden. Juga untuk menjaga amanat Reformasi, dan menyelamatkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah, Parlemen dan Demokrasi, agar Rakyat tak mudah dipengaruhi oleh ideologi-ideologi anti demokrasi yang membawa kepada radikalisme ataupun terorisme.

“Agar NKRI tetap terjaga dan masyarakat tidak terbelah. Saya mengajak semua pihak untuk taat konstitusi. Dan juga kepada pendukung pak Jokowi, agar mendukung keinginannya untuk taat konstitusi dengan tak berniat dan tak berminat masa jabatannya diperpanjang melebihi aturan Konstitusi,” pungkasnya. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *