Neta S Pane Telah Pergi……

by
Ketua Presidium IPW Neta S Pane

“Kematian sangat mungkin merupakan penemuan terhebat dalam kehidupan”.

UNGKAPAN di atas dikemukakan Steve Jobs, seorang miliarder penemu komputer dan seluler pintar Apple. Steve Jobs meninggal tahun 2011 dalam usia 56 tahun setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit kanker getah bening.

Steve Jobs sosok penemu sejumlah perangkat elektronik ini ternyata tak dapat menemukan jawaban misteri kematian. Kematian itu misteri bagi manusia dan hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang tahu dan punya otoritas

Neta S Pane, sahabatku sejak tahun 1985 ini Rabu (16/6) kemarin, meninggal dunia setelah lebih seminggu berjuang melawan Virus COVID-19. Neta menghadap Sang Khalik (Allah SWT) pada usia 56 tahun. Sohib yang punya segudang pengalaman dan prestasi di bidang jurnalistik ini adalah sosok yang sederhana dan egaliter.

Sejak sama-sama meliput di wilayah Jakarta Utara, Neta yang saat itu baru berusia 21 tahun sering diusir polisi ketika berada di tempat kejadian perkara (TKP). Neta dikira anak SMA yang hanya ingin menonton peristiwa. Beruntung ada saya yang bisa menjelaskan siapa Neta sebenarnya. Neta saat itu jadi reporter di Harian Merdeka.

Beberapa tahun berlalu, kami jarang ketemu, karena Neta sudah dimutasi dari Jakarta Utara. Saya hanya dapat kabar akhir tahun 80-an, Neta sudah menikah dari temannya yang menggantikannya di Jakarta Utara.

Mungkin karena kami berjodoh sebagai teman bak saudara. Tahun 1992 secara tidak sengaja kami bertemu di kompleks perumahan saya di Narogong, Bekasi. Ia kaget dan saya pun heran, ternyata rumah kami hanya berjarak 300 an meter. Neta tinggal di Perum Bumi Bekasi Baru sampai akhir hayatnya.

Sejak ketemu lagi persahabatan kami nyambung lagi. Nyaris setiap minggu kami bertemu, ngopi di rumahnya atau di rumah saya sambil berdiskusi. Hanya bedanya, saya masih jadi reporter, sementara Neta di usianya yang baru 27 tahun sudah menjabat redaktur pelaksana. Prestasi yang luar biasa di dunia pers saat itu.

Menjelang Reformasi 1998, saya bertemu di suatu pagi, ia berkabar bahwa dirinya kini menganggur. Ada kebijakan pimpinan tinggi di kantor medianya yang tidak sejalan, sehingga dia mundur bersama beberapa pimpinan lainnya.

Kemudian, saya menawarkan nama Neta ke salah satu pimpinan di media saya, yang akan menerbitkan tabloid. Ternyata gayung bersambut Neta kemudian bergabung di grup media tempat saya bekerja. Entah berapa lama ia bergabung, saya tidak ingat, karena belakangan saya dengar kabar Neta udah pindah lagi ke media baru. Tapi persahabatan kami tetap berlanjut.

Belakangan, dia datang ke rumah saya meminta rilisnya untuk dimuat di media saya. Kebetulan saya udah jadi pimpinan kecil. Ia mengaku baru mendirikan lembaga sosial masyarakat (LSM)
Indonesia Police Watch (IPW). Saya tahu sebelumnya ia bergabung dengan di Gamatpol pimpinan Atar, seniornya di Harian Merdeka.

Sebagai teman, saya dukung dia dan memuat setiap rilisnya, baik itu sikap kritis atau dukungan terhadap Polri. Kebetulan saya pun banyak berkecimpung di Polri, sehingga kami sering berdiskusi tentang Polri dari berbagai aspek termasuk kiprah sosok-sosok petinggi Polri.

Walaupun kami beberapa kali berbeda pandangan tentang sosok petinggi Polri dan kebijakannya, tapi pertemanan tetap kami jaga. Belakangan kami memang jarang-jarang ketemu, tapi telpon masih sering. Bahkan, tiga minggu lalu kami sempat janjian mau ngopi bersama.

Mungkin karena kedekatan emosional saya dengan Neta, sehari sebelum saya mengetahui Neta terbaring di rumah sakit, perasaan saya was-was dan seperti orang bingung. Saya sempat tanya ke teman akrabnya kenapa FB Neta kok gak ada statusnya. Padahal beliau sering mengapload hampir semua kegiatannya baik di rumah atau di luar. Temannya ngaku juga gak ada kabar, padahal mereka janjian mau ketemu.

Rupanya, soal hilangnya info tentang Neta terjawab, malamnya saat di KRL saya melihat FB Neta, dengan status dirinya sakit dan dirawat. Info ini saya kirim ke beberapa teman wartawan, sehingga malam itu juga banyak teman Neta berkomentar dan mendoakan agar cepat sembuh.

Saya juga ikut mendoakan dari jauh untuk kesembuhan sahabatku ini. Walau ada rasa khawatir akan keselamatannya. Ternyata apa yang saya khawatirkan itu terjawab, ketika seorang kawan menelpon Rabu siang pukul 11:45, kalau Neta udah gak ada. Kematian adalah Takdir llahi, manusia hanya menjalani hidup. Kapan kita menghadap sang pemberi hidup tidak ada yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa.

Menurut Sigmund Freud, selain naluri kehidupan, pada zat hidup terdapat naluri-naluri kematian. Kemunculan naluri kehidupan dan kematian terjadi dalam evolusi dunia.

Requescat ln Pace (RIP)

Nico Karundeng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *