Dunia Dalam Bayang Bayang Konflik Identitas

by
Kombes Pol Dr Andry Wibowo MSi

KEHIDUPAN dunia yang dihuni oleh lebih dari 7,5 milyar orang saat ini telah memasuki fase baru, era informasi digital. Dunia bahkan telah memasuki era robotik sebagai evolusi tahap keempat dan kelima sejak era mesin uap. Di tengah dahsyatnya perkembangan peradaban materilnya, kehidupan manusia modern pada kenyataannya masih dihadapkan pada persoalan dasar yaitu gesekan antar kelompok masyarakat yang berbeda identitas atas dasar suku, agama, ras dan golongan.

Agama, politik maupun pengetahuan telah berupaya sedemikian rupa untuk memberikan kontribusi pada pembangunan manusia untuk memiliki kesadaran kehidupan bersama. Berbagai upaya dilakukan melalui beragam dalil, dogma, paradigma hingga konsep dan teori, dengan tujuan agar populasi manusia di dunia dapat hidup berdampingan dalam perasaan damai dan aman serta non diskriminasi.

Hingga kini, kesemuanya belum sepenuhnya memberikan hasil yang memuaskan. Yang terjadi justru sebaliknya, individualisme dan komunalisme semakin mengalami pertentangan disaat semua manusia dunia terkoneksi dan dapat berkomunikasi menggunakan media sosialnya.

Aku dan dia, kami dan kalian, kini dunia terbelah menjadi in group dan out group. Perselisihan menjadi telanjang dan dipertontonkan dalam keseharian hidup masyarakat informatif hari ini. Konflik tersebut semakin kentara pada masyarakat yang hidup dalam sistem politik terbuka, yang konstitusi negaranya memiliki spirit tentang kesetaraan (egality) dan keadilan (equity) dan kebebasan (liberty).

Spirit pembebasan perbudakan dan dis-klasifikasi kelas sosial dengan latar belakang identitas sejak zaman dulu tidak pernah tuntas terselesaikan. Konflik antara Suni dan Syiah, Timur dan Barat, tradisional dan modern, konservatisme dan progresivisme menjadi persoalan yang terus berulang. Konflik terus tumbuh dan berkembang, tidak berujung, bahkan secara generatif diwariskan pada generasi baru yang sejatinya belum lahir pada era konflik pertama kali terjadi. Konsep kewarganegaraan yang menjadi simbol kesatuan identitas sebagai sebuah bangsa tidak mampu sepenuhnya mengurai sekat identitas yang ada dalam masyarakat plural.

Istilah ” mix but not combine” ( Lee ) menjadi suatu realita sosial dalam masyarakat plural (furnival). Sehingga sejatinya masyarakat hidup dalam situasi yang kompleks dan dinamis diantara sekat identitas diri dan kelompok. Kondisi interaksi sosial ini terjadi sehari hari pada ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya.

Kondisi paling aktual dari potret fenomena itu adalah silang sengkarut hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Ketatnya persaingan dalam penghitungan suara antara Donald Trump calon yang diusung oleh Partai Republik dengan Joe Biden calon yang diusung oleh partai demokrat membuat masyarakat Amerika terbelah. Sebagai pengusung demokrasi modern dan menjadi penggerak demokratisasi di dunia ternyata kultur politik identitas di Amerika Serikat masih sangat kuat.

Isu identitas masyarakat yang berdasarkan pada identitas kesukuan, identitas keagamaan, identitas ras dan golongan, vis a vis dengan isu yang berkaitan dengan kepentingan dasar warga negara tentang lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan keamanan di Amerika. Hal seperti ini menjadi bagian dari persoalan sensitif proses demokratisasi dalam perjalanan politik reformasi indonesia.

Menguatnya politik identitas yang saat ini terjadi di dunia menyadarkan kita semua, betapa protokol universal dan konstitusi setiap negara yang memuat spirit perdamaian dunia yang didasarkan pada semangat harmoni belum mampu sepenuhnya mengurai, mengurangi dan mencegah potensi konflik identitas antar manusia. Demokrasi, globalisasi, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang masif pada kenyataan belum mampu membawa kedamaian sepenuhnya.

Keamanan kehidupan bersama menjadi rapuh disebabkan pergerakan dinamika yang terjadi secara asimetris di tengah kompleksitas persoalan. Berbagai faktor determinan yang lahir dari berbagai situasi baik internal maupun eksternal. Lingkungan kehidupan juga mengalami banyak perubahan fundamental, terjadi begitu cepat dan terkadang tidak dapat diduga.

Dalam kondisi demikian, tantangan untuk menjaga kohesi sosial pada masyarakat plural semakin penting dan strategis. Harus diupayakan secara terstruktur, teroganisir dan dioperasionalkan secara efektif, efisien dan berkelanjutan untuk melahirkan suatu budaya bangsa yang hidup dalam ruang bersama dan untuk masa depan bersama (One For All , All For One). Satu kehidupan, dimana individu bertindak bukan hanya untuk kepentingan dirinya, juga untuk orang lain dan kelompoknya (Nash).

Kehidupan dunia yang dihuni oleh lebih dari 7,5 milyar orang saat ini telah memasuki fase baru, era informasi digital. Dunia bahkan telah memasuki era robotik sebagai evolusi tahap keempat dan kelima sejak era mesin uap. Di tengah dahsyatnya perkembangan peradaban materilnya, kehidupan manusia modern pada kenyataannya masih dihadapkan pada persoalan dasar yaitu gesekan antar kelompok masyarakat yang berbeda identitas atas dasar suku, agama, ras dan golongan.

Agama, politik maupun pengetahuan telah berupaya sedemikian rupa untuk memberikan kontribusi pada pembangunan manusia untuk memiliki kesadaran kehidupan bersama. Berbagai upaya dilakukan melalui beragam dalil, dogma, paradigma hingga konsep dan teori, dengan tujuan agar populasi manusia di dunia dapat hidup berdampingan dalam perasaan damai dan aman serta non diskriminasi.

Hingga kini, kesemuanya belum sepenuhnya memberikan hasil yang memuaskan. Yang terjadi justru sebaliknya, individualisme dan komunalisme semakin mengalami pertentangan disaat semua manusia dunia terkoneksi dan dapat berkomunikasi menggunakan media sosialnya.

Aku dan dia, kami dan kalian, kini dunia terbelah menjadi in group dan out group. Perselisihan menjadi telanjang dan dipertontonkan dalam keseharian hidup masyarakat informatif hari ini. Konflik tersebut semakin kentara pada masyarakat yang hidup dalam sistem politik terbuka, yang konstitusi negaranya memiliki spirit tentang kesetaraan (egality) dan keadilan (equity) dan kebebasan (liberty).

Spirit pembebasan perbudakan dan dis-klasifikasi kelas sosial dengan latar belakang identitas sejak zaman dulu tidak pernah tuntas terselesaikan. Konflik antara Suni dan Syiah, Timur dan Barat, tradisional dan modern, konservatisme dan progresivisme menjadi persoalan yang terus berulang. Konflik terus tumbuh dan berkembang, tidak berujung, bahkan secara generatif diwariskan pada generasi baru yang sejatinya belum lahir pada era konflik pertama kali terjadi. Konsep kewarganegaraan yang menjadi simbol kesatuan identitas sebagai sebuah bangsa tidak mampu sepenuhnya mengurai sekat identitas yang ada dalam masyarakat plural.

Istilah ” mix but not combine” ( Lee ) menjadi suatu realita sosial dalam masyarakat plural (furnival). Sehingga sejatinya masyarakat hidup dalam situasi yang kompleks dan dinamis diantara sekat identitas diri dan kelompok. Kondisi interaksi sosial ini terjadi sehari hari pada ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya.

Kondisi paling aktual dari potret fenomena itu adalah silang sengkarut hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Ketatnya persaingan dalam penghitungan suara antara Donald Trump calon yang diusung oleh Partai Republik dengan Joe Biden calon yang diusung oleh partai demokrat membuat masyarakat Amerika terbelah. Sebagai pengusung demokrasi modern dan menjadi penggerak demokratisasi di dunia ternyata kultur politik identitas di Amerika Serikat masih sangat kuat.

Isu identitas masyarakat yang berdasarkan pada identitas kesukuan, identitas keagamaan, identitas ras dan golongan, vis a vis dengan isu yang berkaitan dengan kepentingan dasar warga negara tentang lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan keamanan di Amerika. Hal seperti ini menjadi bagian dari persoalan sensitif proses demokratisasi dalam perjalanan politik reformasi indonesia.

Menguatnya politik identitas yang saat ini terjadi di dunia menyadarkan kita semua, betapa protokol universal dan konstitusi setiap negara yang memuat spirit perdamaian dunia yang didasarkan pada semangat harmoni belum mampu sepenuhnya mengurai, mengurangi dan mencegah potensi konflik identitas antar manusia. Demokrasi, globalisasi, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang masif pada kenyataan belum mampu membawa kedamaian sepenuhnya.

Keamanan kehidupan bersama menjadi rapuh disebabkan pergerakan dinamika yang terjadi secara asimetris di tengah kompleksitas persoalan. Berbagai faktor determinan yang lahir dari berbagai situasi baik internal maupun eksternal. Lingkungan kehidupan juga mengalami banyak perubahan fundamental, terjadi begitu cepat dan terkadang tidak dapat diduga.

Dalam kondisi demikian, tantangan untuk menjaga kohesi sosial pada masyarakat plural semakin penting dan strategis. Harus diupayakan secara terstruktur, teroganisir dan dioperasionalkan secara efektif, efisien dan berkelanjutan untuk melahirkan suatu budaya bangsa yang hidup dalam ruang bersama dan untuk masa depan bersama (One For All , All For One). Satu kehidupan, dimana individu bertindak bukan hanya untuk kepentingan dirinya, juga untuk orang lain dan kelompoknya.

*Dr Andry Wibowo MSi* – (Anggota Kepolisian Republik Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *