Hari Bersejarah yang Dilupakan, Pertemuan Bung Karno – Marhaen

by
Ilustrasi Bung Karno.
Jacobus Mayong Padang.

Oleh: Jacobus K. Mayong Padang*)
TANGGAL 1 Oktober adalah sebuah hari yang bersejarah bagi bangsa ini. Bukan karena Hari Kesaktian Pancasila, tetapi karena 97 tahun silam, pagi hari saat terik matahari, tepatnya pada pukul 10 kurang 21 menit, Bung Karno dengan pakaian rapih, sepatu mengkilat memarkir sepedanya di sebuah pondok. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung(ITB) itu berjalan meniti pematang, menemui seorang petani yang sudah mandi keringat karena ia memang sejak pagi-pagi sebagaimana lazimnya petani sudah memainkan cangkulnya di tengah sawahnya. Dan itu pasalnya, ditambah terpaan mentari pagi, maka mengucurlah keringat membasahi tubuhnya.

Ada banyak makna yang mesti dikisahkan dan dicernah dari pertemuan dua anak manusia yang berjarak sosial amat jauh itu. Bukankah Bung Karno seorang ningrat sedang Marhaen hanyalah jelata ? Bung Karno yang juga dipanggil Kusno seorang mahasiswa, hal yang masih langka di zaman itu, sementara Marhaen yang nama aslinya Mang Aen adalah buta huruf. Masih banyak jarak lainnya yang amat jauh. Pakaian mereka berdua jelas menjelaskan berapa mereka sangat berbeda jauh secara lahiriah. Tetapi pertemuan keduanya demikian penting. Kenapa ?

Dalam pledoi yang disusun Bung Karno di sel 2 x 1,5m dengan bahan yang disuplai Inggit Garnasih secara rahasia itu, jelas, Bung Karno sangat emosional mengurai kondisi hidup kaum Marhaen. “Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan upah yang paling rendah atau ‘minimumloonen’ itu. Upah minimum di Indonesia kita dapat di mana-mana”. “Selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, ‘buat menolak maut”. Itu hanya salah satu ucapan emosional Bung Karno yang diucapkan dengan lantang, tanpa keraguan di depan hakim pemerintah kolonial.

Mengapa Bung Karno begitu emosional? Dan mengapa ia begitu lantang? Itulah luapan dari sebuah rasa ibah dan marah. Dan itu bermula dari tengah sawah di Cigereleng. Bung Karno tidak tahan menyaksikan keringat Mang Aen yang terus mengucur, dan tanpa ada limit, harapan kondisi hidupnya bisa berubah. Saat itu, di pagi yang terik, berbekal teknik yang sedang di dalaminya yang mendasarkan kemampuan rekayasa untuk sebuah capaian, Bung Karno membathin; satu-satunya jalan untuk mengubah kehidupan Marhaen agar lebih baik: Indonesia harus dimerdekakan. Tiada lain hanya itu. Inilah pentingnya 1 Oktober bagi bangsa Indonesia, secara spirit, idea, hasrat, Indonesia lahir dalam pertemuan kaum elit yang diwakili Bung Karno dan rakyat jelata, kaum Marhaen, kaum yang mayoritas mendiami Nusantara yang diwakili Mang Aen.

Dalam pertemuan yang berlangsung hampir sejam itu, tanpa kopi dan rokok apalagi penganan, kedua insan yang berjarak jauh secara sosial tetapi menyatu secara rasa manusia, dan mewakili kaumnya, membuat Memorandum of Understanding (MoU), Bung Karno akan mewakafkan segala daya terdidik nya untuk memerdekakan, dan Marhaen menyumbangkan segala daya apapun yang ada padanya untuk menopang usaha pemerdekaan. Atas dasar MoU itulah Bung Karno tanpa keraguan sedikit pun berbicara lantang di depan pengadilan kolonial. Mereka berempat bahkan tidak perduli ancaman hukuman. Bung Karno sedikit pun tidak ciut ketika pemerintah kolonial mengasingkannya begitu jauh ke Ende dan Bengkulu. Di atas kereta yang membawanya ke Surabaya ia menatap kaumnya di tengah sawah, di kebun sedang memanggul tebuh, dan di pelabuhan sedang memanggul barang yang sudah pasti dengan upah yang sangat rendah. Lalu pikirannya kembali ke Cigereleng yang sudah jauh.

Atas dasar MoU di Cigereleng itu pulalah rakyat menyediakan rebus pisang dan singkong bagi pasukan Sudirman saat bergerilya dan juga bagi semua pasukan pejuang kemerdekaan di seluruh tanah air tanpa bayar. Sayangnya sekarang banyak kaum elit yang mengkhianati MoU Cigereleng itu. Mereka kata Gubernur Lemhanas Agus Wijoyono, Usman Hamid Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Dr. J. Kristiady pengamat politik, Dr. Jerry Massie, Direktur Eksekutif P3S dan Eduard Lemanto yang sedang kuliah S3 di Moskow, sedang menikmati kekuasaan sementara rakyat begitu banyak yang hidup sengsara. Itu mereka sampaikan dalam webinar yang dilaksanakan P3S, Selasa 29 September lalu, yang diikuti ratusan peserta dalam dan luar negeri.

Itulah sebabnya tahun lalu di Gedung Indonesia Merdeka (GIM) di Bandung, Bandung Bersejarah bekerja sama Institut Marhaen mengadakan peringatan pertemuan Bung Karno – Marhaen. Maksudnya untuk menyegarkan ingatan semua, terutama elit bangsa, bahwa ada MoU Cigereleng yang terabaikan. Buktinya, seminggu lalu saya didatangi 5 orang mewakili ratusan petani dari Karangan Kutai Timur, yang mengaku tanah mereka di serobot. Dan itu bukan satu2nya kasus pertanahan dan bukan satu-satunya masalah yang sedang dialami berjuta-juta Marhaen di negeri ini. ***

*) Penulis adalah Pendiri Institute Marhaein, dan mantan Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI  1999-2004.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *