Keampuhan APBN 2021 Atasi PEN Dipertanyakan, Resiko Politik Jauh Lebih Besar Menanti Pemerintah

by
Ahmad Nur Hidayat.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mempertanyakan keampuhan RAPBN 2021 dalam upaya melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Sidang Paripurna DPR pada Jumat (14/8/2020) lalu. Sebab menurut dia, bisa menimbulkan resiko politik yang besar, menyebabkan instablitas dan ketidakpercayaan publik terhadap upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, sementara disatu sisi kasus Covid-19 di Indonesia masih terus menunjukkan peningkatkan.

“Asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5-5,5 persen dalam APBN 2021 masih menimbulkan pertanyaan besar? Karena kita melihat peningkatkan Covid-19 berlanjut dan kemampuan penyerapan fiskal masih tanda tanya,” kata Achmad Nur Hidayat dalam Orientasi Kepemimpinan (OKE) API Gelora dengan tema “Prospek Pemulihan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan oleh Partai Gelora Indonesia secara virtual, Sabtu (15/8/2020).

Menurut dia, Presiden Jokowi harus mengambil pelajaran berharga dari kebijakan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang didemo rakyatnya, karena dianggap salah dalam mengambil kebijakan ekonomi.

“Ekonominya relatif stabil, tapi angka Covid-19 naik terus sehingga mengakibatkan hilangnya warga negara (meninggal, red). Korban jiwanya banyak, sehingga Presiden Brasil didemo besar-besaran oleh rakyatnya. Ini pelajaran yang harus kita pelajari, kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Madnur, sapaan akrab Achmad Nur Hidayat berharap Presiden Jokowi belajar dari kasus yang terjadi Brasil, jika ingin mengejar pertumbuhan ekonomi. Sebab, secara politik resiko jauh lebih besar dibandingkan dengan mengejar ekonomi.

“Dengah dalih menyelamatkan ekonomi, resikonya jauh lebih besar. Resiko politik, instabiitas dan juga bisa menimbulkan sosial unrest (kerusahan sosial). Padahal pemerintah bisa menahan meningkatnya Covid-19,” kata Madnur.

Ia mengatakan, sebagian besar negara didunia ekonominya minus dan terkoreksi sangat dalam, karena memberlakukan lockdown dan membatasi aktivitas ekonomi masyarakatnya, untuk menekan jumlah Covid-19 di negaranya.

“Ekonomi memang kehilatan normal, karena pasar dan pusat perbelajaan sudah dibuka. Tetapi ekonomi masih sepi, karena masih melihat penanganan Covid-19 tidak jelas dari pemerintah,” tambahnya lagi.

Karena itu, asumsi pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen dengan defisit 5,5 persen persen dalam APBN 2021, resiko ketidakpastian ekonomi domestiknya masih tinggi. Pesimis tersebut juga dipicu oleh rendahnya serapan anggaran dalam APBN 2020 sampai Agustus ini baru 40 persen. Lalu, realisasi belanja K/L baru 48 persen, realisasi anggaran PEN, baru 21,8 persen.

“Kalau mau selamat, ekonomi kita harus menggenjot belanja negara kita sampai 60 persen, ada gap yang tinggi dalam serapan anggaran. Triwulan ketiga yang akan berakhir September nanti, dipastikan negatif lagi,” tandasnya.

Fadil Hasan, Indef.

Sementara ekonom senior Indef Fadhil Hasan dalam kesempatan yang sama mengatakan, secara umum Indonesia sudah memasuki resesi ekonomi dan terjadi konstraksi cukup dalam.

“Kita sudah masuk resesi atau tidak, bisa dirasakan, salah satunya tentang lapangan pekerjan, terjadinya banyak pengangguran. Banyak pekerja di PHK dan dirumahkan, serta kebijakan pemotongan gaji,” kata Fadhil.

Karena itu, pemulihan ekonomi pada triwulan ketiga pada September ini dinantikan, apakah negatif atau positif, paling tidak diatas 0 persen .

“Kalau di triwuluan ketiga ini ada optimisme, pemerintah secara efektif dan efisien dalam membelanjakan anggaran yang cukup besar, bisa terhindar dari resesi ekonomi. Sehingga triwulan keempat ada pemulihan ekonomi dan awal 2021 lebih baik. Tapi kalau tidak sebaliknya,” pungkas Fadhil. (Kds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *