Anomali, Ketika Kepentingan Kesehatan Harus Mengalah Dengan Kepentingan Ekonomi

by
Pembakaran Halte Busway

Oleh: Teddy Mihelde Yamin (Direktur Eksekutif Cikini Studi)

Teddy Mihelde Yamin.

KOMPLIT terjadi di negeriku ini. Anomali, ketika kepentingan kesehatan harus mengalah karena kepentingan ekonomi. Ancaman kemerosotan perekonomian yang dalam karena negara tak cukup punya anggaran yang cukup memberi makan rakyatnya (yang tak mampu dan terdampak) jika harus tetap tinggal lama di rumah untuk membatasi penularan virus corona atau Covid-19, yang semakin tak terkendali.

Sayangnya, di tengah dilema yang belum tuntas terjawab, para politisi yang ada di eksekutif dan di legislatif sibuk memuaskan nafsu kekuasaannya. Seakan memanfaatkan kesempatan, bergegas melahirkan berbagai kebijakan, bermacam Undang-Undang (UU), seolah tak cukup sabar melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Berkali-kali peristiwa yang sama terjadi di masa pandemi ini. Beribu alasan bisa disuarakan, tetapi begitulah faktanya.

Cukup sampai di situ? Ternyata tidak, berbagai kebijakan seolah abai dan tak fokus dalam satu gerakan nasional mengatasi penularan Covid-19. Kegelisahan rakyat dibiarkan, ‘masa bodoh’ dan terus saja berjalan tanpa henti. Yang masih pro kontra, misalkan saja kegiatan menjaring suara rakyat demi meraih mandat kekuasaan dengan tetap mengadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Protokol kesehatan yang ketat tekadnya, nyatanya banyak ditemui kegiatan yang seolah abai dengan berbagai dampak yang dikuatirkan di masa pandemi Covid-19 ini.

Berbagai himbauan dan saran dari akademisi, pemuka agama, dan pemuka masyarakat tak lagi dihiraukan. Sepertinya kepentingan politik mengalahkan segalanya. Berbagai tekad terkait penanganan Covid-19 ini akhirnya menjadi slogan kosong, yang tak mudah dicerna. Terlalu banyak pengecualian.

Jika kini, terjadi gelombang besar penolakan masif di Jakarta dan berbagai daerah merespon di-sahkan UU Omnibus Law Cipta Karya tersebut. Apakah pemerintah masih tetap menutup mata? Masih saja bersembunyi, suatu keharusan yang sudah diperhitungkan? Padahal bukan rahasia lagi, semua juga tahu, siapa yang mendorong dan menargetkan segera lahirnya UU Omnibus Law tersebut? Terlepas dari apa dan siapa yang sangat berkepentingan di balik lahirnya UU kontroversi tersebut. Tetapi cara dan momennya tak tepat. Bukankah semuanya juga masih harapan datangnya investor dari mancanegara ngantri masuk ke Indonesia? Sementara investor seperti apa yang justru tertarik hadir, ini juga masih ‘debatable’, mengingat pasal terkait lingkungan. Siapa dulu asingnya? Asing ‘decent work’ pro lingkungan, pastinya mikir dua kali mau masuk ke Indonesia.

Setelah berbagai kerusuhan yang terjadi Kamis, 8 Oktober, masihkah politisi sibuk membenarnya semua kebijakan dan kerjanya selama ini? Padahal berbagai kebobrokan dan meroket tingginya angka-angka penyebaran Covid-19 yang kasatmata terlihat jelas, karena kebijakan pemerintah sendiri yang dalam posisi dilema?

Akhirnya kembali dengan pendapat umum, bahwa suara dan sikap kita tergantung posisi. Tetapi jangan mudah menyalahkan rakyat yang menyuarakan ke-muakan-nya dengan berbagai langkah ‘ngotot’ yang terus dipertontonkan selama ini. Jangan salahkan rakyat (termasuk mahasiswa di dalamnya) bila sekarang bersuara memprotes lahirnya UU yang disiapkan ‘super kilat’ itu. Rakyat menganggap pemerintah bersama legislatif acapkali ‘kucing-kucingan’ tak peka dengan kebutuhan rakyat dan tak konsisten di masa pandemi ini. Jika efeknya terjadi kerusakan massal yang menimbulkan kerugian, semestinya sudah diperhitungkan matang.

Sekarang kita ikuti saja, sejauh mana langkah yang akan ditempuh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam merespon gelombang protes rakyat dan mahasiswa? Apakah tetap dengan cara-cara sebelumnya ketika gelombang protes besar lahirnya revisi UU KPK, atau ada cara lain? ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *