Genre Horor yang Memikat: Haruskah Menggunakan Simbol Agama?

by
Simbol horor. (Foto: Ist)

BEBERAPA waktu lalu, poster dan trailer film horor terbaru berjudul Kiblat menarik perhatian warganet setelah beredar. Kebanyakan warganet mengkritisi penggunaan simbol agama yang sering digunakan dalam film horor. Bahkan, Ketua Bidang Dakwah MUI, Cholil Nafis, melarang penayangan film Kiblat di bioskop Indonesia.

Di sisi lain, hal ini juga menarik perhatian Gina S. Noer, seorang screenwriter, film director, hingga penulis buku untuk berkomentar mengenai film horor Indonesia.

Ia mengatakan melalui media sosialnya bahwa kebanyakan film horor Indonesia dengan tema agama saat ini, sudah masuk ke ranah eksploitasi agama.

Kelemahan iman bukan lagi menjadi eksplorasi kritik terhadap keislaman yang dangkal, tapi cara dangkal agar cepat
seram.

Setelah mendapat kecaman dan kritik dari warganet, pembuat film Kiblat yaitu Agung
Saputra sebagai produser dan juga pihak rumah produksi Leo Pictures meminta maaf dan bertemu dengan Cholil Nafis dan melakukan diskusi.

Film maupun cerita horor memang menjadi salah satu genre yang banyak diminati.
Kedekatan masyarakat Indonesia dengan mitos membuat genre horor memiliki daya
tariknya sendiri.

Ketertarikan terhadap genre horor juga terlihat dari para pembaca di Cabaca, aplikasi baca dan penerbitan digital.

Selain film-film horor yang tayang di bioskop, kamu juga dapat menikmati beberapa novel horor digital berikut yang telah dikurasi dengan baik.

1. Persembahan Terakhir
Karya dari Banyu Biru ini menceritakan Mutia, yang memutuskan pergi ke Desa
Sindang Sari, desa asal ayahnya. Ia pergi bersama temannya untuk mengobati rasa
penasarannya setelah menerima panggilan misterius dari seseorang yang mengaku
ibunya.

Desa itu adalah desa yang menjadi saksi kekejaman penumpasan PKI pada tahun
1965. Hal ini membuat menimbulkan trauma mendalam hingga membuat sang kakek
terjerumus pada persekutuan dengan iblis berbadan ular bernama Nyai Sugih
Gantari–alasan ayah Mutia meninggalkan keluarga kakeknya.

Mutia menyedari, jika desa dengan keindahan yang luar biasa itu nyatanya
menyimpan banyak rahasia. Ia juga mulai mengalami teror, hingga misteri-misteri
yang mengarah pada sesuatu yang lebih besar.

2. Mustaka ke-13
Setiap malam Jumat Legi di desa Kantil, tembang Asmarandana mulai terdengar,
maka dimulailah malam-malam penuh teror yang mencekam.

Pintu-pintu mulai diketuk dan anak-anak kecil mulai hilang. Kepala anak-anak itu dipenggal untuk dijadikan tumbal pesugihan.

Tidak berhenti sampai di situ, tubuh tanpa kepala milik anak-anak yang menjadi tumbal mulai bergentayangan, tak terima karena kepalanya hilang. Penduduk desa Kantil percaya, Sukesih biang dari semua teror ini. Sejak kepindahannya, desa mereka jadi mencekam. Apalagi setiap malam Jumat Legi,

wanita itu selalu melantunkan tembang Asmarandana. Lagu cinta yang dia
persembahkan bagi Darman, pujaan hatinya yang dia bunuh lantaran cintanya tak
dibalas.

Karya dari Savariya 16 Bab dengan bergenre horor, sekaligus romance hingga
thriller.

3. Post Meridiem
Sejak dirilis pada Maret 2019, karya dari Daniel Ahmad ini telah berhasil menarik
lebih dari 107 ribu pembaca.
Bercerita mengenai Desa Keruak yang berada di Nusa Tenggara Barat. Di desa itu,
setiap pukul 6 sore, sirine dibunyikan . Mereka bersembunyi, dan tidak satu pun ada
yang boleh keluar. Ada satu aturan mutlak yang harus dipatuhi oleh warga, yakni,
setelah sirene dibunyikan, tidak seorang pun boleh menyalakan lampu atau sumber
cahaya apa pun. Warga tahu, ada sesuatu yang bersembunyi di dalam gelap.

Hal itu sudah jadi aturan selama bertahun-tahun, bahkan sebelum Keruak terjamah
oleh pemerintah dan belum dilalui jalur listrik. Sudah banyak korban berjatuhan
karena melanggar aturan. Setiap dari korban, ditemukan tewas dalam kondisi yang
aneh. Tulang, daging, semua organ dalam mereka lenyap. Mayat biasanya hanya
berupa kulit dan rambut saja. Warga sadar, tidak selamanya mereka bisa hidup
seperti itu.

4. Ante Meridiem
Masih dari penulis yang sama, Ante Meridiem yang memiliki jumlah 34 bab ini
menceritakan ritual Roah Segare di Kampung Kelang.

Para lelaki berkumpul di pinggir pantai. Kapal diutus berlayar mengantarkan sesajian
berupa makanan, buah, perhiasan, dan yang paling wajib adalah kepala kerbau
hitam, menuju puncak di Gili Selak. Tapi, Roah Segare tidak sesederhana itu.

Para perempuan yang tinggal di rumah tidak kalah sibuk menyiapkan ritual. Api
unggun besar akan menyala di puncak Gili Selak. Pertanda dimulainya ritual khusus
bagi para gadis. Mereka yang berusia 17 tahun ke atas dan belum menikah, akan
dikunci di dalam kamar.

Dibekali sebuah kain kafan sebagai selimut, serta harus berpuasa sejak pukul 6 malam, sampai pukul 6 pagi, dan yang paling penting adalah, mereka tidak boleh tidur. Bagi mereka yang gagal menjalankan ritual ini akan mengalami hal buruk, menjadi gila, bahkan kehilangan nyawa.

“Agak sulit ya membuat film horor yang tidak bersinggungan dengan agama karena di
Indonesia sendiri, secara culture, cerita horor memang lebih dekat dengan mitos, agama,
dan kepercayaan,” jelas Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca, diwawancarai secara
daring pada (4/4/2024).

Ia juga mengungkapkan, hal ini berbeda dengan film horor Barat yang cenderung lebih rasional sehingga ceritanya pun jadi menyerupai pemecahan misteri.

Meski begitu, bagi orang-orang yang berada di belakang layar film maupun cerita,
diharapkan dapat mengeksplorasi keberagaman Indonesia ke dalam karyanya sambil tetap memperhatikan rambu-rambu dan batasan tertentu.

Begitu pun bagi kita sebagai penikmat karya, kita dapat memilih secara saksama mana saja
karya yang bisa kita nikmati, dan mendukung para kreator dengan tetap menonton atau membaca di situs resmi terkait.

*Fanny Kautsar* – (Media, Community & Public Relation of cabaca.id