Perempuan Raknamo, di Antara Bayang-bayang Krisis Air

by
Keseharian Betcy Ketty memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya. (Foto: iir)

BERITABUANA.CO, KUPANG – Napasnya tersengal-sengal. Langkahnya yang lunglai akan berhenti setelah berjalan 50 hingga 100 langkah. Peluh yang mengalir di keningnya seakan tak dihiraukan. Di atas pundaknya, ada beban yang harus ia pikul. Dua puluh liter air dari mata air di sungai yang berjarak dua kilometer harus tiba di rumahnya. Terik matahari yang membakar ubun-ubun pun tak dihiraukannya.

Perempuan yang sedang memikul air itu bernama Betcy Ketty (35), warga Dusun III, Desa Raknamo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pekerjaan yang ia lakoni setiap hari adalah perjuangan seorang ibu rumah tangga dalam menyiapkan air bersih bagi keluarganya. Mirisnya, mereka tinggal tidak jauh dari Bendungan Raknamo, yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo di Kabupaten Kupang.

“Tidak ada pilihan lain bagi kami untuk memperoleh air bersih. Kami harus menempuh jarak satu kilometer dari rumah. Ada juga yang jaraknya lebih jauh dari saya. Ini sudah menjadi pekerjaan rutin bagi kami setiap hari,” ujar Betcy sambil membersihkan lumpur pada sandal jepitnya yang sudah lusuh, Kamis (23/1/2025) siang.

Saat burung berkicau tanda pagi telah tiba, Betcy sudah harus bangun untuk menyiapkan sarapan bagi suami dan anak-anak sebelum dirinya pergi mengambil air.

Ia tidak mau anak-anaknya pergi ke sekolah dengan perut kosong, begitu pula dengan suaminya yang harus pergi menggarap sawah. Betcy harus berpacu dengan matahari agar teriknya tidak membakar kulit saat pulang dengan beban di atas pundak.

“Setiap hari saya dua kali pergi ambil air. Kalau pagi hari, saya pergi sekitar jam 07.00 Wita supaya di jalan tidak terlalu panas. Kalau sore, saya pergi sekitar jam 16.00 Wita supaya nanti pulang dengan beban, matahari sudah tidak panas lagi. Begitu setiap hari. Kalau pulang ambil air pagi, saya masak untuk makan siang keluarga, dan kalau ada kesempatan, saya bersih-bersih di kebun,” ungkap Betcy.

Sebagai perempuan Timor yang lahir dan besar dalam adat dan budaya, Betcy Ketty menyadari bahwa menyediakan air bersih bagi keluarga adalah kewajiban yang tidak bisa diwakilkan.

Saat kemarau panjang, ia harus bertarung dengan terik matahari. Saat musim hujan, ia harus bertahan dalam kondisi basah karena kebutuhan akan air tidak bisa ditunda.

“Tugas ibu rumah tangga tidak hanya mengurus makan minum, tapi bagaimana supaya air di tempat minum selalu terisi, atau bagaimana supaya dapur tetap ada kayu bakar. Itu sudah menjadi pekerjaan kami sebagai istri. Kalau ada waktu senggang, kami bantu suami bersihkan kebun atau ke sawah. Ada juga yang menenun untuk membantu ekonomi keluarga,” tutur Betcy.

Beberapa tahun lalu, kata Betcy, ia dan warga Raknamo tidak pernah membayangkan harus bersusah payah mencari air bersih seperti ini. Sebelum bendungan dibangun, air bersih mudah didapat.

Namun, justru setelah Presiden Joko Widodo membangun embung besar di Raknamo yang bisa menampung jutaan kubik air, warga malah kesulitan mendapatkan air bersih.

Warga awalnya senang dengan pembangunan bendungan karena berharap air akan lebih melimpah, ada pipa air yang tersambung ke rumah warga, atau setidaknya ada bak air umum yang dibangun untuk kebutuhan air bersih mereka.

Namun, harapan itu tetap menjadi harapan belaka karena mereka masih harus berjibaku dengan jarak yang jauh demi memperoleh air bersih.

“Waktu bendungan itu dibangun, kami sudah senang. Kami bilang, nanti air di Raknamo akan melimpah, warga bisa dengan mudah memperoleh air. Tapi hingga saat ini, belum ada pipa air untuk masyarakat. Semoga ke depan kami diperhatikan dan tidak kesulitan air lagi,” harap Betcy.

Tidak Berpengaruh

Kehadiran Bendungan Raknamo, yang diresmikan oleh mantan Presiden Jokowi pada 2 Oktober 2024, diyakini akan membawa kemakmuran bagi warganya.

Dengan kapasitas tampung air mencapai 14,09 juta meter kubik, Bendungan Raknamo diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air baku penduduk Kabupaten Kupang sebanyak 100 liter per detik.

Namun, pada kenyataannya, harapan tersebut sulit terwujud. Masyarakat di sekitar bendungan justru tidak dapat menikmati manfaat dari bendungan yang sangat luas dan melewati lima dusun di Desa Raknamo.

Para perempuan, baik ibu rumah tangga maupun remaja, harus mengumpulkan air bersih dengan menampungnya dalam jerigen. Jika kondisi cuaca tidak memungkinkan, mereka harus membeli air dari tangki berkapasitas 5.000 liter dengan harga Rp120.000, yang dibeli secara patungan dengan tetangga lainnya.

“Memang tidak semua mengambil air dari mata air. Ada beberapa warga yang memiliki sumur bor sehingga bisa membantu tetangganya yang kesulitan air. Tapi tentu tidak setiap hari, perasaan juga,” kata Elisabet Selan (33 tahun), warga Dusun 1 yang memiliki sumur bor.

Sebelum adanya Bendungan Raknamo, masyarakat Dusun 3 memperoleh air dengan lancar dari mata air Sulfat, yang dialirkan melalui sambungan pipa ke rumah-rumah warga.

Namun, sejak bendungan dibangun, banyak masyarakat mengeluh karena dalam proses pembangunan Bendungan Raknamo, terjadi pengerjaan jalan raya yang menyebabkan pipa-pipa dibongkar paksa tanpa dilakukan penataan kembali. Akibatnya, aliran air terhenti hingga saat ini.

“Kami, beberapa tetangga yang membutuhkan air dari tangki, saling membantu dengan mengumpulkan uang untuk membeli air karena harganya cukup mahal, yakni Rp120.000 per tangki,” ujar Fransiska Dina Fernandez (28 tahun), warga Dusun 3.

Waduk Oelpuah, bukan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi dan cuci, tapi hewan juga beraktivitas disitu. (Foto: iir)

Kesehatan Perempuan

Baik Betci Ketty, Elisabet Selan, maupun Fransiska Fernandez mengakui bahwa kebutuhan air bersih meningkat, terutama bagi perempuan yang harus menjaga kesehatan reproduksinya, baik saat menstruasi, nifas, maupun menyusui.

Perempuan sendiri membutuhkan lebih banyak air bersih untuk menjaga, merawat, dan memelihara kesehatan reproduksi. Perempuan juga memerlukan lebih banyak air bersih untuk menjaga tingkat kelembapan dan kebersihan tubuhnya.

Dalam hal ini, air yang terkontaminasi bakteri E. coli dapat mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan, seperti menyebabkan keputihan atau gatal-gatal pada alat kelamin.

Selain itu, saat perempuan hamil, kebutuhannya akan air lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Mereka tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk janin dalam kandungan.

Betci Ketty  mengatakan mereka juga rutin mendapatkan sosialisasi dari puskesmas maupun bidan di pustu. Ia mengatakan saat sosialiasai mendapatkan informasi bahwa konsumsi air yang tercemar atau dalam jumlah yang kurang dapat memengaruhi kualitas kesehatan bayi di masa mendatang.

Menurut Betci Ketty, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka mendapat perhatian penuh dari suami dan anak-anaknya, yang bergantian mengambil air bersih, selain membelinya dari tangki.

“Sehingga untuk kesehatan reproduksi kami sangat aman karena dibantu oleh anggota keluarga yang ada,” ujar dia.

Namun, berbeda dengan kesehatan tubuh dan kulit. Masyarakat di Desa Raknamo, khususnya di Dusun 3 dan 4, yang mengalami krisis air bersih, terpaksa mengambil air dari Waduk Oelpuah yang ada di wilayah mereka.

Waduk ini hanya merupakan penampungan air hujan dan mata air dengan debit kecil.

Namun, warga sering memanfaatkannya untuk mandi, mencuci pakaian, membersihkan kendaraan, bahkan memandikan hewan. Akibatnya, kesehatan kulit mereka terganggu, menyebabkan masalah seperti gatal-gatal dan panu.

Untuk membantu ekonomi keluarga sekaligus memenuhi kebutuhan air bersih, perempuan di desa ini sering dilibatkan dalam kegiatan pemberdayaan yang diselenggarakan oleh kantor desa, seperti reparasi tas dan sepatu atau membuka warung di rumah mereka.

Meskipun wilayah ini mengalami kekurangan air, masyarakat tetap hidup rukun, termasuk dengan para pendatang dari Timor Leste yang telah menetap selama puluhan tahun. Jika pun terjadi konflik, hal tersebut bersifat personal dan tidak sampai melebar menjadi bentrokan.

“Hanya pernah terjadi beberapa waktu lalu, tetapi antar masyarakat lokal secara personal. Ada warga yang tidak bisa lagi mengambil air bersih dari sumur bor tetangganya karena tidak memiliki uang untuk membantu membayar token listrik. Akibatnya, mereka terpaksa berjalan ke mata air untuk mengambil air bersih,” tegas Elisabet Selan.

Kenyataan tersebut diakui kebenarannya oleh Bidan Pustu Raknamo, Mariance Killa, bahwa baik puskesmas maupun pustu selalu berkoordinasi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, baik terkait kesehatan reproduksi maupun kesehatan tubuh.

“Karena kondisi air sangat minim, masyarakat yang datang berobat lebih sering mengeluhkan gatal-gatal atau panu di tubuh mereka. Untuk kesehatan reproduksi, mereka sudah sangat paham, sehingga tidak pernah ada keluhan,” ujar Mariance Killa.

Ketika harus dihadapkan pada perawatan kesehatan reproduksi, masyarakat akan meminta bantuan kepada suami atau anggota keluarga lainnya dalam pemenuhan air bersih. Namun, saat masih dalam perawatan melahirkan di puskesmas, maka pihak puskesmas bertanggung jawab atas ketersediaan air bersih tersebut.

“Air bersih selalu tersedia di puskesmas karena itu sesuatu yang sangat vital dan dibutuhkan dalam menjaga kesehatan. Kalau sudah di rumah, maka itu menjadi urusan keluarga,” tegas Mariance Killa.

Pihaknya rutin turun dua minggu sekali untuk sosialisasi dan survei langsung ke warga masyarakat, terutama jika mendengar ada warga yang sakit, sehingga dapat segera dicarikan solusi sesuai bidangnya.

Pemberdayaan Perempuan

Badan Perpustakaan Daerah Provinsi NTT juga turut andil dalam pemberdayaan perempuan di desa-desa dengan memberikan pelatihan-pelatihan sebagai bekal bagi mereka.

Seperti pada akhir tahun 2024 lalu, dengan dikoordinasi oleh staf Bidang Layanan dan Pembinaan Perpustakaan Provinsi NTT, Erni Loak, mereka turun memberikan pelatihan reparasi tas dan sepatu sebagai bagian dari kegiatan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Sekitar 40 perempuan di Desa Raknamo dikumpulkan dan diberikan pelatihan teori terlebih dahulu mengenai bagaimana mereka bisa mandiri dan tidak hanya menggantungkan kehidupannya pada suami.

“Semua bahan kami siapkan. Peserta hanya membawa sepatu dan tas yang sudah rusak tetapi masih layak pakai untuk dilatih cara memperbaikinya,” ungkap Erni Loak.

Dengan pelatihan ini, perempuan-perempuan di Desa Raknamo tentu mampu memperbaiki sepatu dan tas mereka sebelum mengalami kerusakan parah.

Bahkan, mereka bisa menerima pesanan perbaikan dari para tetangga, yang tentunya akan menjadi sumber pemasukan ekonomi rumah tangga dan berdampak pada pemenuhan kebutuhan air bersih.

Sementara itu sebagai NGO yang mendampingi desa-desa di wilayah Kupang, CIS Timor berencana memfasilitasi pembentukan Koperasi Simpan Pinjam khusus perempuan, di mana saat ini para fasilitator sedang menjalani pelatihan.

“Kemungkinan baru akan beroperasi pada Maret 2025. Saat ini, persiapan sedang dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada para pengurusnya,” tegas Koordinator Program CIS Timor NTT, Buce Ga.

Kehadiran CIS Timor tidak hanya berfokus pada penyediaan air bersih, tetapi juga mendorong masyarakat untuk mampu mengadvokasi kebutuhannya. Misalnya, kebutuhan air bersih setidaknya harus masuk dalam rencana desa, kemudian diperjuangkan hingga tingkat kabupaten dan provinsi. Yang terpenting adalah inisiatif dari masyarakat.

“Raknamo memang cukup unik. Meskipun memiliki bendungan besar, masyarakat tetap mengalami kesulitan air. Oleh karena itu, CIS mendampingi mereka agar dapat mengadvokasi kebutuhan tersebut,” ujar Buce Ga.

Agenda CIS Timor mencakup penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana, perubahan iklim, dan konflik, serta pengurangan kekerasan terhadap perempuan. Kaum muda dan perempuan dilatih agar dapat berpartisipasi dalam forum perencanaan desa.

Rencana CIS Timor untuk membuka koperasi di desa-desa mendapat tanggapan positif dari masyarakat.

“Dengan adanya koperasi simpan pinjam CIS Timor, kami sangat bersyukur karena ini sangat membantu kami dalam pengadaan air bersih,” ungkap Elizabet Selan, warga Dusun I Desa Raknamo.

Jika koperasi tersebut sudah beroperasi, Elizabeth akan mendaftar sebagai anggota dan selanjutnya membentuk kelompok yang berfokus pada pengadaan air.

Ia dan para ibu di sekitar tempatnya tinggal akan bekerja sama untuk mengajukan pinjaman, dan dari dana tersebut, mereka akan mengumpulkan uang guna membangun sumur bor.

“Kami akan merinci kebutuhan terlebih dahulu, kemudian membagi kontribusi secara merata sesuai jumlah anggota agar tidak terlalu membebani,” jelas Elizabet Selan.

Mereka dapat meminjam lebih besar dari jumlah yang akan disumbangkan, dengan kemungkinan menggunakan sisanya untuk keperluan rumah tangga. Namun, pengembalian tetap harus sesuai dengan jumlah pinjaman yang diajukan.

“Kami siap membangun sumur bor, yang seluruh prosesnya akan dilakukan secara gotong royong oleh para perempuan di sini,” tegas Elizabet Selan. (iir)