BERITABUANA.CO, JAKARTA- Pakar Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana menyampaikan bahwa Indonesia harus segera berbenah dan keluar dari ‘zona nyaman’ dalam menghadapi persoalan baru, terutama soal perubahan iklim.
“Para pemimpin kita di semua tingkatan perlu segera merekonstruksi skema problem solving dan reforma anggaran dalam menghadapi masalah-masalah klasik sekaligus memitigasi fenomena baru yang mendera dunia, yakni dampak perubahan iklim (climate change) dan krisis air. Indonesia darurat air bersih jangan sampai hanya menjadi slogan,” kata Dina lewat keterangan tertulisnya,Minggu (23/6/2024).
Hal itu disampaikan Dina Hidayana usai menghadiri Singapore International Water Week (SIWW) yang digelar 19-21 Juni 2024 di Marina Bay Sands Convention Center Singapura.
Dina meyakini kemampuan Indonesia dalam mengoptimalkan sumber daya air dan perairan. Menurutnya, diperlukan political will dan konsepsi sistematis.
Selain itu, lanjut dia, paradigma konsumtif harus mampu ditransformasikan menjadi produsen yang kompetitif. “Negara-negara lain telah melahirkan berbagai karya-karya inovasi dalam mengatasi problem air, banjir dan pesisir hingga krisis pangan dan energi. Teknologi mereka bernilai ekonomi tinggi ditengah kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas, ini sangat ironis,” tuturnya.
Ia lalu mengingatkan anomali iklim dan problem menipisnya air konsumsi ini mesti direspon secara progresif. Sebab, dengan persiapan matang maka Indonesia bisa terhindar dari ancaman bencana kelaparan akut sekaligus kerusakan masif ekosistem alami yang bisa memicu lajunya konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
“Bahkan pertanian dan peternakan sebagai sumber pangan pun membutuhkan jumlah air memadai untuk dapat memproduksi pangan sesuai target,” ujarnya.
Perlu SDM dan Teknologi Mumpuni
Dina pun menyebutkan bahwa ada kesenjangan serius antara ketersediaan dengan kebutuhan air bersih, terutama di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang mendominasi total penduduk Indonesia. Sementara, disisi lain, ketiga pulau besar lainnya, yakni Kalimantan, Papua dan Sumatera memiliki potensi sumber air melimpah yang belum dioptimalkan karena masih minimnya teknologi dan SDM terkait.
“Total rerata potensi air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang berisi lebih dari setengah penduduk Indonesia hanya berkisar 0,4% dari Qaverage Pulau Kalimantan,” papar Dina yang juga pegiat lingkungan alumnus Magister Resolusi Konflik UGM ini.
Pendiri DH Institute ini memprediksi eskalasi penyusutan air bersih diantaranya disebabkan oleh minimnya edukasi dan sosialisasi otoritas terkait. Selanjutnya kerusakan hutan yang tak terkendali, bencana lingkungan, pemanfaatan yang tidak efisien, tingginya penggunaan sumur bor/pompa (>37%) dan masih rendahnya kesadaran publik dalam penghematan dan mengoptimalkan sumber air secara tepat guna.
“Pemerintah dalam hal ini perlu mensistematiskan pendayagunaan potensi air sekaligus distribusi pemanfaatan pada dunia industri dan masyarakat luas secara adil dan berpegang pada prinsip ekosistem lestari,” sarannya.
Dina menyarankan keseriusan optimalisasi sumber daya nasional dengan meningkatkan kemampuan SDM lokal dalam mengelola dan menciptakan teknologi mutakhir, sehingga air dan perairan luas yang kita miliki dapat sebesar-besarnya dimanfaatkan dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana amanah konstitusi.
“Jalur transportasi laut dan selat Indonesia yang menjadi perlintasan strategis perdagangan internasional perlu difikirkan untuk menjadi kawasan bernilai ekonomi tinggi dengan kebijakan progresif sebagai pendulang devisa,” tutup Alumnus Doktoral Strategi Pertahanan UNHAN RI ini. (FDL87)