Oleh: Agus Widjajanto*
SEPERTI kita saksikan bersama bahwa hajatan demokrasi terbesar dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak, baik untuk memilih gubernur dan wakilnya, bupati dan walikota beserta wakilnya pada 508 Kabupaten/Kotamadya, dan 37 Provinsi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Walaupun hasil dalam perhitungan cepat sudah bisa kita saksikan bersama dan sekarang masih dalam tahap perhitungan faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada setiap daerah yang telah diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan nantinya rekapitulasi lengkap akan diumumkan oleh KPU selaku penyelenggara Pemilu. Apapun nanti hasilnya, tentu ada yang puas dan tidak puas, adalah hal wajar dalam hajatan demokrasi. Bagi yang tidak puas akan hasil akhir, tentu akan melakukan upaya hukum gugatan pada Mahkamah Kontitusi.
Mental dan paradigma berdemokrasi masyarakat kita belum selevel pada pemilihan Presiden Amerika Serikat, dimana dalam pemilihan presiden (Pilpres) Amerika pada tahun ini, dimana beberapa waktu lalu Kemala Harris dari Partai Demokrat mendapat 226 suara elektoral dari seluruh negara bagian, sedangkan Donald Trump dari Partai Republik mendapatkan 312 suara elektoral dari seluruh negarabagian, tapi tidak terjadi konflik hukum berupa gugat menggugat, dimana incumbent, yakni Presiden Joe Biden dan Kemala Harris, sudah mengucapkan selamat kepada lawan politiknya, yakni Donald Trump. Ini sebagai pembelajaran politik dalam berdemokrasi di negara kita untuk kedepan.
Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah susahkan masyarakat dan para pemimpin kita, baik dari level tertinggi hingga para calon kepala daerah beserta team pemenangnya sudah mencapai level kematangan berdemokrasi layaknya Amerika Serikat, bisa menerima kekalahan dengan legowo? Sepertinya belum.
Dan konsekwensi dari proses berdemokrasi tersebut adalah melakukan upaya hukum berupa gugatan dalam Pilkada Serentak kali ini yang diikuti oleh 508 Kabupaten/Kota dan 37 Provinsi yang seluruhnya bermuara di Mahkamah Kontitusi dengan sembilan Hakim Kontitusi, juga batasan waktu dalam perkara yang telah diatur oleh Undang-Undang (UU). Mampukah Mahkamah Kontitusi untuk menampung dan mengadili dalam proses gugatan dari seluruh gugatan yang akan diajukan oleh pihak yang kalah yang dipandang telah terjadi kecurangan baik dalam proses perhitungan dan selama proses kampanya, hingga politik uang (money politic) yang dianggap sebagai masalah pelanggaran terstruktur, massif dan sistematis? Katakanlah secara hitungan kasar dari peserta pemilihan umum (Pemilu) dalam Pilkada dari 508 Kabupaten/Kota dan 37 Provinsi di seluruh Indonesia yang dilakukan serentak pada tanggal 27 Nopember kemarin, setengah saja dari peserta pilkada melakukan upaya gugatan di Mahkamah Kontitusi, yang berarti 254 Kabupaten/Kota dan 18 Provinsi, apakah dengan kondisi ruangan dan jumlah Hakim Kontitusi yang ada, serta batasan waktu mampu untuk menyelesaikan proses persidangan dalam sengketa Pilkada ini? Belum lagi dari masyarakat yang mengajukan perkara diluar gugatan pilkada, untuk menguji UU, apakah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tidak bisa terbayangkan kondisinya.
Kewenangan Mengadili
Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusanya Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan tidak lagi berwenang untuk mengadili perselisihan hasil pilkada karena secara limitatif disebutkan dalam Pasal 24 C UUD 1945, hanya memberikan kewenangan untuk mengadili perkara Pemilu saja, dan tidak termasuk Pilkada. Namun dalam putusanya itu, MK juga menyatakan bahwa selama belum terbentuk pengadilan khusus Pilkada, maka MK akan tetap mengadili perselisihan hasil Pilkada, demikian juga dalam Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, menyatakan bahwa penetapan perolehan suara hasil akhir jika terjadi sengketa diadili di Mahkamah Kontitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus Pilkada.
Namun Mahkamah Kontitusi dalam putusanya dalam perkara Nomor 85/ PUU-XX/2022, menganulir putusan MK terdahulu dalam perkara Nomor 97/PUU-XI/2013. Yang dalam amar putusanya menyatakan ‘frasa, sampai terbentuknya badan peradilan khusus, pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati, menjadi Undang-Undang sesuai lembaran negara RI tahun 2016 Nomor 130, dinyatakan oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU No.10 Tahun 2016 yang tidak lagi mengandung sifat sementara, yang menurut Mahkamah Kontitusi frasa sampai terbentuknya badan peradilan khusus harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dengan hilangnya frasa sementara tersebut sesuai Pasal 157 ayat (3) UU No.10 Tahun 2016 selengkapnya harus dibaca “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahab akhir hasil pemilihan kepala daerah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Kontitusi, yang bersifat final dan mengikat. Dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa bahwa mengapa kewenangan mengadili dalam Pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Kontitusi, bukan lagi sebuah lembaga khusus yang dibentuk dibawah Mahkamah Agung atau dibawah Mahkamah Kontitusi sendiri, karena sesuai amanat Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagai mana dimaksud pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi”
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPD RI.
Dan seterusnya, di dalam Pasal 22 E dari UUD 1945 tersebut tidak ada satu katapun pemilu diselenggarakan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala daerah. Hanya saja pada ayat (6) tertera, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan UU.
Demikian juga dalam Pasal 24 C dari UUD 1945, pada ayat (1) berbunyi: Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terahir yang putusanya final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Antara Pasal 22 E dan pasal 24 C dalam UUD 1945, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ditafsirkan secara terpisah, dimana didalam bunyi Kontitusi tertulis sesuai Pasal 22 E dan Pasal 24 dan 24 C tidak ada satu kalimat pun Mahkamah Kontitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pemilihan umum kepala daerah, dan itukah sebabnya setelah pasca putusan perkara MK No.97/PUU-XI/2013, dibentuklah UU No.10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2014 , tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota.
Bahwa pertimbangan Mahkamah Kontitusi dianulirnya putusan No.97 / PUU-XI/2013, karena hingga tahun 2022 dengan telah ditetapkanya diajukan pemilihan kepala daerah secara serentak diseluruh wilayah RI yang telah habis masa jabatannya, dimana eksekutif dalam hal ini pemerintah juga belum melaksanakan untuk membentuk peradilan khusus Pilkada yang harus diatur dan dilakukan penelitian secara komprehensif apakah dibawah Mahkamah Agung atau dibawah Mahkamah Kontitusi, yang mendasari salah satu dalam pertimbangannya bahwa MK mempunyai kewenangan permanen untuk mengadili hasil perhitungan akhir sengketa Pilkada, secara final dan mengikat.
Dari pertimbangan MK diatas, jelas sekali Majelis Hakim di Mahkamah Kontitusi telah menempatkan diri sebagai pembuat dan pembentukan dari Hukum Dasar dalam hal ini adalah Pemerintah (Eksekutif), yakni Presiden dan atas persetujuan DPR RI, dua lembaga tersebutlah yang diberikan kewenangan untuk merubah dan mengamandemen dari isi dan bunyi pasal di dalam UUD 1945. Dimana dalam UUD 1945 sendiri kewenangan Mahkamah Kontitusi adalah hanya mengadili UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, bukannya mengubah dan menafsirkan frasa dari bunyi UUD itu sendiri yang secara limitatif sudah jelas diatur sesuai Pasal 22 E dan pasal 24 dan 24 C dari UUD 1945. Dan hal ini menabrak pembagian kekuasaan sesuai Trias Politica dalam pemerintahan yang demokratis.
Bahwa apabila pertimbangannya mengambil alih kewenangan mengadili secara permanen dalam peradilan Pilkada dikarenakan eksekutif belum juga memberikan peradilan khusus pilkada, maka pertimbangan tersebut sangat naif, karena disamping biaya atau cosh yang harus dipersiapkan juga sangat besar, pilkada bersifat hajatan lima tahunan, tentu eksekutif/pemerintah akan lebih mengutamakan untuk sektor yang lebih penting dalam pembangunan bukanya tidak mau membentuk, tapi mungkin akan dianggarkan pada tahun berikutnya dan harus dikaji secara komprehensif.
Pertanyaan selanjutnya, setelah Mahkamah Kontitusi mengambil alih kewenangan untuk mengadili dalam kasus perkara pilkada yang sudah dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 yang lalu, apakah mampu untuk menampung dan menjalankan. Proses peradilan tersebut, katakanlah peradilan yang bertujuan kepastian hukum, bisa diterapkan bagaimana dengan peradilan untuk mencapai keadilan, belum lagi setelah keadilan dan kepastian hukum tercapai bagaimana untuk mencapai asas Kemanfaatan bagi masyarakat, bagi bangsa dan negara? Sedang kita mengetahui Pilkada serentak ini dilakukan dari Sabang hingga Pulau Rote (Merauke) dengan 508 Kabupaten/Kota, dan 37 Provinsi, sesuai asas proses peradilan yang menuntut biaya murah dengan proses cepat tidak bertele-tele, dengan batasan waktu yag telah ditetapkan oleh UU dalam peradilan Pilkada, bagaimana bisa terpenuhi, katakanlah calon kepala daerah dari Indonesia Timur atau Aceh datang ke Jakarta untuk mengajukan gugatan. Di Mahkamah Kontitusi , berapa biaya dan waktu yang harus ditempuh , dan sanggupkah dengan kondisi ada sembilan hakim Kontitusi dan jumlah ruangan serta keterbatasan waktu yang ditentukan?
Inilah kita menunggu jiwa kenegarawanan dari Hakim Mahkamah Kontitusi, yang diibaratkan telah duduk dikursi gedung dimana segala putusan putusanya adalah ‘Mahkota’ dari kehormatan Hakim itu sendiri, apakah bisa memutuskan bukan saja dari aspek keadilan dan kepastian hukum, tapi juga dari aspek kemanfaatan. Dengan kekuasaan yang telah diberikan oleh negara kepada Mahkamah Kontitusi yang diberikan kewenangan mengadili secara final dan mengingat, tidak ada upaya hukum banding apalagi kasasi. Boleh diibaratkan, kekuasaanya menyamai firman Tuhan.
Apakah Mahkamah Kontitusi dalam memutuskan perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menambah kewenangan untuk dirinya sendiri, yang tidak diatur secara limitatif didalam UUD 1945, telah memikirkan hal ini?
Manusia adalah tempat bersemayamnya segala kekurangan dan kesalahan serta kekilafan, dengan kekuasaan yang begitu tinggi dan besar sangat menakutkan kiranya untuk diemban, seperti halnya mengemban jabatan Tuhan didunia. Ini harus menjadikan introspeksi diri kita bersama, untuk memperbaiki sistem hukum kedepan demi bangsa ini, demi negara ini. ***
* Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta/Pemerhati Masalah Sosial, Budaya, Hukum dan Sejarah Bangsanya.