Apa Bisa Sistem Pemerintahan Presidensial Sesuai UUD 1945 untuk Diubah ?

by
Agus Widjadjanto. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjadjanto*

PERNYATAAN tokoh politik dari Partai Golkar, yang juga mantan Ketua MPR RI, Prof.Dr. Bambang Susetyo bahwa UUD 1945 bukan ‘Kitab Suci’, sehingga sesuai perkembangan jaman bisa dilakukan lerubahan lewat amandemen untuk menjawab tantangan jaman.

Topik pembahasan ini, lalu ditangkap dan dikupas dalam salah satu media TV Suara Kebenaran, yang menampilkan para ahli Hukum Tata Negara paling kampiun saat ini, disamping Prof.Dr. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar paling Senior di UNPAD Bandung, juga ada Prof.Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI), dan Prof.Dr. Basuki Rekso Wibowo seorang Guru Besar dari Unas Jakarta, yang di moderatory oleh Prof.Dr. Romly Artasasmita. Sangat menarik memang untuk didengar dan dikaji, lalu diimplementasikan dalam kebijakan politik hukum oleh penguasa saat ini dalam Pemerintahan Presiden Prabowo Subiyanto.

Dalam sejarah secara teoritis kita memang telah mengalami perubahan dalam Kontitusi tertulis kita, yakni UUD 1945 dari Sejak kita merdeka dan disyahkan UUD 1945 tersebut adalah yang pertama saat terjadi perubahan dari UUD 1945 ke UUD RIS (Republik Indonesia Serikat), lalu dari UUD RIS kembali ke UUD 1945 sesuai dekrit presiden 5 juli 1959, dan saat Orde Reformasi dimana UUD 1945, telah diamandemen hingga ke empat kali perubahan (Prof.Dr. Satya Arinanto). Demikian juga dalam sistem pemerintahan kita dari awal saat dibentuk memang para Bapak pendiri bangsa (Founding Father’s) kita mendesain sistem pemerintahan dengan sistem Presidensial (bukan Parlementer), dimanana saat itu memang dalam pembentukannya sebagai negara yang baru berdiri, berkiblat pada pembentukan sistem Pemerintahan di Amerika Serikat dan praktek di Eropa Barat.

Sejarah mencatat bahwa saat Orde Reformasi, UUD 1945 sudah mengalami perubahan melalui proses amandemen sebanyak empat kali. Yang menurut para elit politik saat itu bertujuan untuk menyempurnakan aturan aturan Dasar Negara seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, yang harus sesuai dengan sebuah Negara Demokrasi modern ala Eropa dan Amerika Serikat.

Para elit politik lupa bahwa sejak Indonesia berdiri dan didirikan oleh para bapak pendiri bangsa walaupun ide terbentuk nya sistem Presidential adalah meniru dari sistem Presidential Amerika Serikat saat itu, akan tetapi para pendiri bangsa membangun sistem ketatanegaraan tetap berdasar pada nilai nilai luhur sesuai adat dan tata kehidupan Bangsa Indonesia, yang oleh Mr. Soepomo dibentuk seperti sebuah pemerintahan desa adat dalam lingkup Nasional/Negara, yang dalamengambil keputusan berdasarkan musyawarahufakat, yang saat itu dibentuk lah oleh Panitia 9 dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dibentuklah untuk syarat adanya sebuah negara setelah diproklamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan proklamasi merdekannya sebuah bangsa, yakni adanya suatu wilayah yang saat itu jelas bekas jajahan Hindia Belanda, adanya penduduk yang saat itu pada tahun 1945 berjumlah hampir 35 juta rakyat dan adanya Dasar Negara, dan Hukum Dasar (Kontitusi tertulis) untuk mengatur tata kehidupan dalam bernegara, dimana antar Dasar Negara dengan Hukum Dasar, baik Preambule maupun isi harus sejalan dengan Dasar Negara yang merupakan Dwi tunggal (dua tapi sejati nya satu yang tidak bisa dipisahkan).

Dan sesuai pendapat dari Prof. Satya bahwa dimulainya sistem Presidensial tidak lagi murni yang mana sudah terjadi semi sistem Parlementer pada saat Pemerintahan Presiden Abdul Rachman Wahid atau Gus Dur, dimana membangun kekuatan politik dengan sistem 4 kaki -kekuatan politiknya menggandeng 4 kekuatan partai politik.

Menurut penulis, ini sebenarnya awal mula terjadinya pergeseran peran dari Legislatif yang mulai mencengkeram pada sistem pemerintahan, dimana telah terjadi politik transaksional lewat suara suara di DPR RI, dalam menggolkan kebijakan, terlebih lebih dalam pembentukan Undang Undang (UU) pun pemerintah yakni Eksekutif harus mendapat persetujuan dari DPR RI ini saling sandra, saling kunci kekuatan politik, yang berakibat pemerintahan harus melakukan koalisi dengan menggandeng partai-partai politik, hingga berdirilah partai politik baru yang jumlahnya hingga lebih dari 20 partai politik, yang dulu pernah terjadi saat pemerintahan Orde Lama dengan 100 partai dan pada saat awal Orde Baru dalam pemilihan umum 1971, hingga puluhan partai yang lalu di lebur dalam tiga partai politik, dimana dalam Orde Lama bernama NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), saat Orde Baru menjadi Nasionalis, Agama dan Golongan Karya.

Bahwa kembali kepada format judul tulisan diatas, apakah bisa dirubah sistem Pemerintahan sesuai UUD 1945? Menurut penulis, sistem pemerintahan yang paling ideal dan sudah terbukti dalam stabilitas politik dan terjaminnya keamanan dan pembangunan adalah sistem pemerintahan presidesial yang memang sejak awal dicipkatkan dan didesain oleh para Founding Father’s kita, hanya saja persoalannya bagaimana untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai perkataan Mas Bambang Seosatyo apakah perlu dilakukan amandemen? Menurut penulis, sepanjang tidak merubah dan menghilangkan pasal pasal Soko Guru (pondasi tiang utama) dari pada terbentuknya negara maka, sesuai jaman dan geo politik dan strategis kedepan bisa dilakukan perubahan penambahan, sesuai Kontitusi Amerika Serikat, lalu apa saja Pasal Soko Guru dari UUD 1945 tersebut.

1. Kedudukan sebuah Lembaga Tertinggi sebagai manifestasi dari sebuah perwakilan rakyat yakni MPR RI,
2. Pasal Presiden harus orang Indonesia asli,
3. Pembukaan UUD 1945,
4. Pasal 1 ayat 1 dari UUD 1945.

Konsesus dari pasal-pasal diatas adalah Soko Guru atau pondasi dari tiang utama dari berdirinya negara. Dan ini bisa dilihat dari sila ke empat dari Pancasila (sebagai hukum Dasar) negara yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwalian” dan sila ke empat dari Pancasila ini konekting dengan Pasal 1 ayat (2) dari UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Oleh karena saking dipengaruhi semangat meniru atau terbius oleh eurofia untuk melakukan Reformasi dan mengakhiri kekuasaan dari Orde Baru saat itu -yang dianggap KKN dengan memanfaatkan situasi terjadinya resesi ekonomi atas permainan negara-negara adi daya dan Eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara dunia ketiga,dimana para elit politik lupa bahwa antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal), maka dengan demikian dengan melakukan amandemen UUD 1945 hingga ke empat kali, akan tetapi tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila, maka seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini terjadi kepincangan dalam sistem ketatanegaraan kita sejak Reformasi bergulir hingga saat ini. Namun, saat ini yang paling utama dan paling krusial yang harus diambil keputusan segera dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita adalah segera lakukan amandemen terbatas yang ke V, untuk mengembalikan marwah dan ruhnya ke-Indonesia-an, baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya untuk dikembalikan pada kedudukan semula sesuai format dari UUD 1945 yang lama adalah sebagai berikut:

1. Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”;
2. ⁠Kembalikan lagi rumusan pasal (yang lama) tentang MPR dengan kewengannya;
3. ⁠Bubarkan DPD RI (karena dalam pasal lama tentang MPR RI, sudah disebut ‘Utusan Daerah’).

Dengan demikian, UUD 1945 menganut Sistem Perwakilan Unicameral (satu badan perwakilan yang disebut dengan MPR);
4. ⁠Bangun sistem kepartaian Dwi Partai (be party system) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan partai Agama, dimana semua partai-partai politik melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang dari AD/ART partai partai tersebut ;
5. ⁠Bangun Sistem Pemilu dengan Sistem Distrik ;
6. Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia asli, dimana kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para pendiri bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta kasta, dan justru orang asli Indonesia dibesut Bumi Putera dan
7. ⁠Pertegas kembali Sistem Pemerintahan Presidensisl, dengan mengembalikan lagi kewenangan Presiden yang dikooptasi oleh DPR RI, seperti original power pembentukan UU kekuasaan ada pada Presiden dan DPR RI hanya menyetujui atau menolak, bahwa hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan pejabat setingkat menteri, seperti Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga non kementerian, rekruitment Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK, dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR RI melalui mekanisme ‘fit and proper test’.

Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat penting, serta mendesak dilakukan oleh pemerintahan yang baru, dengan tujuan:
1. Mewujudkan stabilitas pemerintahan;
2. Menjamin kelangsungan demokrasi Pancasila;
3. Menjaga keutuhan Bangsa dan NKRI;
4. Mengurangi beban negara buat cost partai politik yang justru menimbulkan kegaduhan;
5. Mencegah praktek-praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara paling senior dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof.Dr. I Gde Pantja Astawa menyatakan kepada penulis bahwa seperti yang pernah saya bilang adalah Presiden Soekarno yang punya obsesi untuk mengelompokan 2 kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (Islam khususnya). Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar seperti Petani dan kaum buruh, jadilah kemudian 3 kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM, untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh 3 (tiga) kekuatan besar itu. Hanya sayangnya, Presiden Soekarno tidak mudah memainkan irama politik agar ada harmonisasi di antara 3 (tiga) kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain.

Kini, komunis sudah dead (tamat bahkan diseluruh dunia), tinggal 2 (dua) kekuatan besar yang masih eksis, mengapa dan kenapa mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi 2 (dua) partai besar sesuai dengan idiologinya dengan menegaskan asasnya Pancasila. Juga perlu dipikirkan yang diatur dalam onvensi ketatanegaraan agar pemilihan langsung presiden oleh rakyat mengingat cost yang begitu tinggi dikembalikan lagi pemilihan kepada partai politik, dimana partai politik pemenang itulah yang berhak mengajukan calon Presiden terpilih dimana MPR RI sebagai mandataris Presiden tinggal ketok palu mengesyahkan.

Demikian Prof. Gde menerangkan bahwa atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun dan harus menyesuaikan kondisi geo politik dunia dalam penghormatan hak asasi manusia, yang mana sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional yang paling terbaik dilakukan adalah dengan amandemen terbatas melalui amandemen ke V terhadap UUD 1945, agar bisa konek dan singkron dengan sila-sila dari Pancasila, khususnya sila ke IV dari Pancasila menyangkut sistem aturan kerakyatan dalam perwakilan. ***

Penis adalah Pemerhati Sosial, Budaya, Politik, hukum dan Sejarah Bangsanya.