ESKALASI konflik Timur Tengah pasca-Ismail Haniyeh dan Fouad Shukr (petinggi Hezbollah yang terbunuh bersamaan waktu), diprediksi akan semakin tak terkendali.
Sebagai “kingmaker” di pusaran konflik, Iran kini tengah memainkan bidak, dengan eksistensi kelompok Houthy di Tepi Laut Merah (Yaman), dan Hezbollah di Selatan Lebanon.
Simultantif antara Houthy dan Hezbollah (Selatan Israel), akan melengkapi rencana Iran, untuk memberi “hukuman” kepada Israel, yang dituding terlibat dalam kematian Pemimpin Biro Politik Hamas di Qatar, Ismail Haniyah, dan petinggi militer Hezbollah Fouad Shukr.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony J. Blinken, memperkirakan, eskalasi serangan paling cepat akan terjadi Senin (hari ini). Namun itu baru prediksi. Israel sendiri, sadar betul dengan risiko kematian Haniyeh dan Shukr.
Sekalipun serangan balasan akan melalui dua “proxy”, plus Hamas tadi. Iran juga pasti tengah mempertimbangkan dampak dari eskalasi ini, akan kemana? Tentu akan dihitung betul, karena skala perangnya, jauh lebih masif, ketimbang yang lalu-lalu.
Efektifitas serangannya ke jantung Israel tentu belum tentu membuat Israel “berteriak”. Secara empirik, serangan balasan Iran 13 April lalu (terhadap Israel), sebagian besar rudal Iran dicegat oleh koalisi regional: AS, Inggris, Perancis, Israel, Yordania, Bahrain, Mesir, dan negara teluk (gulf) lainnya. Serangan itu ‘mentah’, dan tidak menimbulkan hal berarti terhadap Israel.
Kok bisa, negara-negara Arab teluk (GCG) membangun kekuatan regional, dalam konteks serangan Iran 13 April lalu? Bukankah negara Arab dan Teluk seharusnya membela Iran?
Seperti dikatakan PM Israel Benyamin Netanyahu, saat berpidato di depan Kongres AS (24/7), Iran tidak akan mampu untuk menghancurkan Israel-AS. Kecuali, Iran dapat menguasai sahabat-sahabat AS di Timur Tengah.
Keyakinan ini, tentu ada alasan. Kekuatan regional AS-Israel-Yordania-Bahrain-Mesir, dan negara teluk lainnya, dalam menangkal serangan Iran (13 April lalu), itulah dasar statemen Netanyahu.
Benyamin Netanyahu sangat yakin, kesejahteraan dan kemakmuran negara Dewan Kerjasama Teluk (GCG), tak akan menggiring mereka ikut terlibat dalam kancah peperangan. Satu hal mendasar memberi keyakinan pada Israel, bahwa mereka “kuat”. Karena perbedan ‘aliran’ antara Arab-Teluk, dengan Iran, tidak akan memberi Iran sokongan. Sekalipun itu menyangkut kepentingan Hamas (baca: Palestina). Faktor dukungan Iran adalah, “buah “simalakama” bagi Hamas.
Iran memang sangat dikhawatirkan oleh negara-negara Arab dan Teluk, akan mengekspor revolusinya ke jazirah Arab. Negara-negara Arab yang sebagian besar berbentuk “monarki konstitusional’, sadar betul untuk tidak memberi peluang kepada Iran, memiliki pijakan yang kuat. Di halaman depan dan belakangnya.
Runtuhnya ‘Shahansah Iran Mohammad Reza Pahlevi, oleh para Mullah pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini 1978 (setelah proses panjang), menjadikan kekhawatiran akut itu.
Terlebih, setelah adidaya AS pun gagal dan mengalami kesulitan untuk mempertahankan “proxy”nya itu, walau telah membangunkan kekuatan militer Iran (baca Reza Pahlevi), sebagai kekuatan militer ke-5 terbesar di dunia.
Pidato Netanyahu di hadapan Kongres AS dua pekan lalu, yang mensitir pernyataan Khomeini, ikut “mengompori” bahaya Iran bagi negara-negara Arab dan Teluk.
Iran memiliki pijakan fundamental di “halaman” muka jazirah Arab. Dengan terbunuhnya Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh 2017, beberapa saat setelah Houthy (dukungan) Iran meruntuhkannya. Ali Abdullah Saleh sendiri tewas, setelah dikepung Houthy pasca pernyataanya siap bekerjasama dengan koalisi Arab Saudi.
Houthy Yaman yang kini menguasai mayoritas wilayah Yaman, dan hanya menyisakan sedikit yang dikuasai pemerintah yang sah. Sangat bergantung pada Iran.
Bagi negara-negara Arab dan Teluk, keberadaan Houthy (Yaman) yang geografi-nya “sepelemparan batu” (dekat) dengan negara-negara ‘monarki’ konstitusional ini. Sangatlah berbahaya. Membahayakan kelangsungan “trakh”, seperti berakhirnya kelangsungan “Shahansah” Reza Pahlevi, 45 tahun lalu.
Pidato Benyamin Netanyahu, dalam kunjungan ke Washington DC mengingatkan itu. “Iran pernah mengatakan akan mengekspor revolusinya ke seluruh dunia,” seperti penulis kutip dari artikel Neville Teller di “Jerusalem Post”, Senin (5 Juli 2024).
Berbagai pihak, banyak yang menganalisis, pertempuran skala besar akan terjadi dalam hitungan dua, atau tiga kali dua puluh empat jam mendatang. Iran sang “kingmaker”, tentu tidak akan melakukan pola yang sama dengan minimalnya hasil serangan 13 April lalu. Pola pembalasannya akan berbeda.
Meminjam kata Penasehat Panglima Tertinggi Garda Revolusi Iran (IRGC), Jenderal Hossein Taeb. “Bentuk balas dendam atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh akan mengejutkan. Dan, tak dapat diprediksi,”katanya.
Pembunuhan terhadap pemimpin kharismatis Hamas, Ismail Haniyah. Telah membawa perdamaian makin sulit. Jurang peperangan, kini menganga lebar.
Mengutip filsuf Persia, Jalaluddin Rumi (1207-1273): “Ada keberanian yang terlibat. Jika kamu ingin menjadi benar”. Siapakah yang benar? Alangkah malunya kita “menonton” peperangan ini.
*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Kehormatan www.beritabuana.co)