MK Perbolehkan Kampanye Pemilu di Lingkungan Pendidikan, KPAI Sebut Anak Rentan Dieksploitasi Sebagai Alat Politik

by
Komisioner KPAI, Sylvana Apituley. (foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023, memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus), sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Keputusan tersebut dibacakan, pada Selasa (15/8/2023).

Terkait putusan tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, Sylvana Apituley melalui keterangan tertulisnya yang dikutip, Rabu (23/8/2023) mengatakan, Putusan MK yang tidak melarang kampanye politik di sekolah akan membuat anak-anak rentan dieksploitasi sebagai alat politik dan menjadi target propaganda kampanye.

“Sekolah semestinya menjadi ruang publik netral, tempat disemainya nilai-nilai kemanusiaan bagi semua siswa tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi,” ujar Sylvana seraya juga menegaskan kalau sekolah harus terbebas dari kepentingan politik personal maupun golongan.

Karena itu menurut Sylvana, segala bentuk kampanye politik di sekolah, khususnya dalam rangka Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, adalah penyalahgunaan ruang publik netral, berpotensi melanggengkan dan memperluas kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak Konstitusional anak. Ini sebagaimana dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28B ayat 2, yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Salah satu ancaman yang berbahaya bagi anak adalah konten kampanye yang tidak sesuai kenyataan, yang berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan masa depan anak,” katanya lagi.

Terakhir, Sylvana mengungkapkan berbagai bentuk materi kampanye yang tidak sesuai dan dapat merusak perkembangan emosi dan mental anak. Kampanye berupa agitasi, propaganda, stigma dan hoaks yang mengadu domba tentang lawan politik, ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni, akan membentuk persepsi, sikap dan prilaku sosial anak yang negatif pula.

“Seperti melabel negatif orang lain (lawan politik), membenci, agresif, dan akhirnya melakukan kekerasan, termasuk terhadap teman sendiri yang (dirinya atau orang tuanya) berbeda pilihan politik,” demikian diingatkan komisioner KPAI tersebut.

Diketahui sebelumnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023, memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus), sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.

Keputusan yang dibacakan, pada Selasa lalu (15/8/2023) tersebut, bermula dari permohonan uji materi diajukan dua Warga Negara Indonesia Handrey Mantiri dan Ong Yenni. Sebab, mereka menilai inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Yaitu, pada Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. Sedangkan, dalam bagian penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut.

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” bunyi amar putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023.

MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Namun, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa ‘tempat ibadah’. Sehingga, Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, ‘(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

“Kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’,” demikian bunyi putusan MK itu. (Asim)