Pahami! Kebebasan Berekspresi di Internet Jangan Sampai Kebablasan

by
Diskusi #MakinCakapDigital Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi bertajuk "Paham Batasan di Dunia Tanpa Batas: Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital". (Foto: Dokumentasi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Perkembangan teknologi digital yang melaju cepat harus diimbangi dengan pemanfaatannya secara bijak. Termasuk juga menjaga etika dalam mengutarakan kebebasan berekspresi di ruang digital agar tidak kebablasan.

Dosen Universitas Ahmad Dahlan Devi Adriyanti menilai, alasan perlunya kebebasan berekspresi, karena setiap manusia memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat, ide, opini serta perasaannya. Kebebasan berekspresi juga merupakan bagian dari HAM.

“Kebebasan berpendapat dan bereskpresi ini pun tidak boleh sebebasnya, akan tetapi tetap ada aturan mainnya,” kata Devi dalam diskusi #MakinCakapDigital Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi bertajuk “Paham Batasan di Dunia Tanpa Batas: Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital” pada Jumat (4/11/2022).

Devi menjelaskan, dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 28E ayat (3) berbunyi L, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dan berkumpul serta pengeluarkan pendapat.”

“Jadi, kebebasan berekspresi di internet adalah saat kita bisa bebas menyampaikan pendapat, perasaan dan opini tanpa rasa takut di bully, diperkarakan, selama kita tetap bisa menghargai hak dan kebebasan orang lain,” papar Devi.

Namun demikian, menurut Devi, kebebasan berekspresi bukanlah hal yang absolut. Kebebasan senantiasa perlu dibatasi, diantaranya oleh hak orang lain, untuk menjaga nama baiknya masing-masing.

“Karena itulah kita mengenal adanya aturan hukum atas nama pencemaran nama baik dan hasutan,” ucapnya. Terlebih, standar international HAM mengakui adanya pembatasan terhadap kebebasan bereskpresi.

Dosen Komunikasi, Film dan Jurnalistik
Politeknik Bina Madani, Yudha wibisono menambahkan, kebebasan berekspresi merupakan hal penting bagi manusia sebagai cara untuk menjamin pemenuhan diri dan mencapai potensi maksimal dari seseorang untuk pencarian kebenaran dan pengetahuan.

“Ketika meluapkan kebebasan ekspresi itu, baik di ruang digital atau hidup sehari-hari, ada batasan-batasan yang harus diketahui,” kata Yudha.

Batasan berekspresi di media sosial antara lain, untuk memahami isu-isu sensitif yang bisa memicu perpecahan dan kegaduhan di dunia digital maupun dunia nyata.

“Jadikan digital menjadi sebuah wadah sekaligus tempat kita sebagai masyarakat Indonesia bisa berekspresi dan berbudaya,” pesan Yudha.

Sementara itu, Sarah Monica, peneliti Abdurrahman Wahid Centre for Peace &
Humanities Universitas Indonesia, menerangkan tentang deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal 19 berbunyi,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”

Sarah memaparkan, Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebesar 52 persen terjadi pada ruang digital.

“Tekait pola serangan digital, tindakan peretasan atau hijacking adalah modus yang paling tinggi dengan sasaran terbanyak adalah media sosial,” kata Sarah.

Untuk itu, ia berpesan agar memahami bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menyinggung kebebasan berekspresi individu, kelompok, maupun lembaga lain.

“Mempertimbangkan nilai dan kualitas
konten untuk dipublikasikan,” ucap.

Adapun peran negara ialah memberi ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat kepada semua pihak, termasuk oposisi/lawan
politik.

“Melindungi keamanan data pribadi
warga negara dan dokumen rahasia
negara. Memperkuat fasilitas dan teknologi keamanan siber dari serangan
peretas,” tukasnya. (Kds)

Catatan:

Informasi lebih lanjut dan acara literasi digital GNLD Siberkreasi dan #MakinCakapDigital lainnya, dapat mengunjungi info.literasidigital.id dan mengikuti @siberkreasi di sosial media.