Prof.Hariadi Kartodihardjo: Sawit Masuk Tanaman Hutan, Banyak Penyesuain Regulasi dan Perizinan

by
Prof. Hariadi Kartodihardjo.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hariadi Kartodihardjo berpendapat, berdasarkan definisi hutan, hasil hutan dan kehutanan di dalam undang-undang, sebagai komoditi hasil hutan, tandan buah segar sawit akan masuk ke dalam lingkup definisi itu. Ia beserta ruang hidupnya akan diperlakukan dalam bisnis proses kehutanan secara keseluruhan mulai dari inventarisasi, perencanaan, pengukuhan, pengelolaan, perizinan, pengawasan, maupun kewenangan pengaturan.

“Maka, bila sawit menjadi tanaman hutan, perizinan kebun sawit akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sejumlah lingkup kerja lembaga seperti Dinas Perkebunan di daerah ataupun Direktorat Jenderal Perkebunan, juga perlu disesuaikan. Sebaliknya, sebagai komoditi, sawit akan menjadi kewenangan organ-organ dalam tubuh kementerian yang membidangi kehutanan,” ujar Hariadi menanggapi pertanyaan media, Rabu (9/2/2022) terkait penegasan KLHK bahwa sawit bukanlah tanaman hutan.

Lebih lanjut dikemukakan Hariadi, ide sawit sebagai tanaman hutan akan membuat tutupan hutan berada dalam kawasan hutan, tanah milik ataupun tanah negara -termasuk yang berstatus izin usaha perkebunan (IUP) maupun HGU. Hal itu berarti diperlukan strategi pengaturan baru, karena selain akan diatur dalam undang-undang kehutanan, sawit juga sudah diatur dalam UU Pertanahan dan UU Perkebunan.

Dalam UU Perkebunan, sawit telah ditetapkan sebagai usaha pengolahan hasil perkebunan (Pasal 41), komoditas perkebunan strategis tertentu (Pasal 52), serta jenis tanaman perkebunan ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Pasal 46).

“Kedua poin yang saya sebutkan itu menunjukkan bahwa alasan memasukkan sawit menjadi tanaman hutan bukan semata-mata perlu argumentasi teknis, tetapi juga perlu argumentasi dari perspektif perubahan institusional, apakah akan menjadi lebih efisien atau justru sebaliknya,” katanya.

Hariadi menjelaskan, kehutanan dan perkebunan atau persoalan kawasan hutan dan tanah negara -yang telah dibuktikan oleh banyaknya penggunaan secara illegal maupun konflik dalam penguasaannya- menunjukkan adanya masalah tatakelola (governance) yang buruk, termasuk pelanggaran tata ruang, korupsi perijinan, maupun lemahnya lembaga pemberi ijin melakukan kontrol. Persoalan ini jauh lebih relevan dan penting untuk diselesaikan saat ini, karena lebih menentukan keberhasilan upaya mewujudkan keadilan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam, kepastian usaha, maupun upaya peningkatan produktivitas hutan dan lahan.

“Dengan paparan di atas, ide sawit menjadi tanaman hutan perlu dikaji ulang relevansiny,” ujarnya.

Dikemukakan Hariadi, sebagaimana yang berjalan saat ini, kecuali ditetapkan dalam UU, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, peraturan yang secara eksplisit akan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan, tidak dapat berlaku surut. Dengan kata lain, akan berlaku hanya untuk tanaman sawit yang ditanam setelah peraturan itu dibuat.

Akibatnya, keberadaan tanaman sawit yang telah dibangun dalam kawasan hutan, statusnya tidak berubah. Maknanya, bila tidak memenuhi syarat-syarat perizinannya, harus diupayakan agar memenuhinya. Dengan demikian, persoalan kebun sawit di masa lalu tidak dapat diputihkan dengan cara menjadikannya saat ini sebagai tanaman hutan.

Dengan status yang tetap itu, lanjut Hariadi, solusi untuk tanaman sawit yang sudah berada dalam kawasan hutan sudah tersedia. Yaitu antara lain adanya tambahan pasal 110A dan 110B dalam perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan turunannya Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 mengenai tatacara mengenai sanksi administratif dan tatacara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.

Peraturan ini juga memuat kebijakan afirmatif -dengan membebaskan denda administrasi dan mengeluarkannya dari kawasan hutan- bagi penyelesaian persoalan perkebunan skala kecil dengan luas kurang dari 5 hektar.

Sejumlah Kebijakan
Masih terkait sawit apakah masuk tanaman hutan, Hariadi mengemukakan, berbagai persoalan pengelolaan hutan dan perkebunan kelapa sawit pernah dicoba diselesaikan melalui Instruksi Presiden No 18 Tahun 2018 yang berlaku selama tiga tahun. Inpres itu mengenai penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitasnya.

Tujuannya untuk meningkatkan tatakelola, memberi kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca, serta untuk peningkatan pembinaan petani kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

“Apabila kita membaca tugas keenam kementerian/lembaga serta gubernur dan bupati/walikota yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian itu, semua kegiatan yang ditetapkan menuju sinergi untuk menyelesaikan masalah. Hasilnya, kawasan hutan dan tanah negara akan tertata kembali sesuai fungsinya, terdapat kepastian hukum, produktivitas ekonomi meningkat dalam kondisi lingkungan hidup tetap terjaga,” ujar Hariadi.

Hasil itu dicapai antara lain melalui strategi, pertama, penetapan kembali areal yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilakukan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan sebagai kawasan hutan. Kedua, penetapan areal yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilakukan pelepasan sebagai tanah negara.

Selanjutnya ketiga, penetapan tanah terlantar dan penghentian proses penerbitan atau pembatalan hak guna usaha (HGU). Keempat, langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *