Ini Cerita Mantan Anggota DPR Enaknya Duduk di Senayan

by
Suasana di ruang Sidang Paripurna Gedung Parlemen.

Oleh: Andoes Simbolon (Wartawan Senior Beritabuana.co)

MENJADI Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bisa disebut impian setiap politisi partai politik (parpol). Tak heran, jika latar belakang Anggota DPR pada umumnya adalah anggota partai, seperti terlihat di era Orde Baru.

Memang sudah ada 1-2 Anggota DPR dari kalangan artis pada waktu itu, sebut saja Sophan Sophiaan almarhum dari PDI dan H Rhoma Irama dari Partai Golkar. 

Namun memasuki era reformasi, isi DPR pun tidak lagi dimonopoli para politisi, tetapi sudah bergeser semakin variatif.

Selain kalangan politisi parpol, Anggota DPR hasil pemilu 1999 juga ada dari pengusaha, pemain film dan penyanyi atau para pesohor lainnya seperti Krisdayanti  bertambah banyak, maupun mantan aktivis pergerakan dan mantan birokrat banyak yang menjadi anggota DPR RI, termasuk wartawan.

Tentu saja tujuan mereka menjadi anggota DPR itu bermacam-macam. Tetapi satu hal yang pasti, jika mereka ditanya, kemungkinan besar akan menjawab untuk mengabdi pada masyarakat, pada bangsa dan negara. Begitu narasi besarnya.

Apakah menjadi Anggota DPR itu enak ? Tentu saja jawabannya enak. Kalau tidak enak, tidak mungkin lah mereka mau bersusah payah mendekati rakyat, merayu rakyat dan menjanjikan banyak hal kepada rakyat supaya mereka dipilih pada saat pemilu.

Selain pintar-pintar mengambil hati rakyat, mereka pun harus mengeluarkan uang banyak selama kampanye maupun sebelum kampanye pemilu. Itu perjuangan dan pengorbanan lain untuk meraih tiket ke Senayan.

Soal enaknya menjadi Anggota DPR, almarhum Aberson Marle Sihaloho pernah bercerita. Sebelumnya dia adalah aktivis mahasiswa dari GMNI dan angkatan 66 (KAMI). Kebetulan dia pernah menjadi Anggota DPR Gotong Royong (GR), Anggota DPR di era Orde Baru, hingga satu periode Anggota DPR di era Reformasi.

Aberson termasuk Anggota DPR yang vokal dan kritis ke pemerintah, khususnya menyangkut soal anggaran negara. Aberson pernah diadili karena pidatonya di acara mimbar bebas di kantor DPP PDI tahun 1996.

Kepada wartawan sebuah majalah berita di bulan Mei 1996, Aberson secara jujur menyatakan ketakutannya kalau sampai di recall oleh partainya. Menurutnya, naif dan munafik kalau dirinya katakan tidak takut di recall. Alasannya dia, karena enaknya kursi DPR itu.

Pada periode itu, recall menjadi momok bagi anggota DPR, karena dengan mudah, seorang Anggota DPR yang dianggap tidak sejalan dengan partainya bisa dihentikan tanpa ada urusan ke pengadilan.

“Siapa sih yang nggak doyan kursi begini enak ? Apalagi sekarang gaji Anggota DPR besar, rata-rata tiap bulan dapat Rp5 juta, belum lagi sabetan kiri-kanan, atas bawah,” aku Aberson saat itu.

Tambah bikin enak lagi seperti dikatakan Aberson kedudukan Anggota DPR di masyarakat semakin tinggi. “Terus, kesana-sini dijadikan yang terhormat lagi,” tutur Aberson.

Dia benar. Semua pejabat pemerintah termasuk menteri yang datang ke Senayan selalu dipanggil dengan “Anggota DPR yang terhormat”.

Itu cerita di tahun 1996 dimana gaji seorang anggota DPR hanya Rp5 Juta saja. Tentu saja gaji tersebut sudah bertambah dari periode ke periode. Sekarang, selain gaji, Anggota DPR pun mendapat banyak fasilitas lain sebagai pejabat negara, dapat bermacam-macam tunjangan, uang reses yang jumlahnya lumayan besar, uang kunjungan kerja (kunker) yang juga nilainya sudah tidak sama seperti tahun 1996. Belum lagi ruangan kerja mereka dapat anggaran untuk renovasi setiap tahun.

Jadi, bagaimana tidak tergiur orang-orang melirik jabatan Anggota DPR? Selama dalam kurun waktu 5 tahun atau satu periode, kehidupan Anggota DPR jelas lah tidak sama dengan anggota masyarakat biasa. Karena itu, Anggota DPR berusaha supaya kembali terpilih pada periode berikutnya. Panggilan yang terhormat itu masih membuatnya seperti berada diatas, merasa tersanjung. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *