Arsul Sani: Kalau Dirasakan Perlu Amandeman Lakukan, Jangan Kita Tutup

by
Wakil Ketua MPR RI dari F-PPP, Arsul Sani. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Arsul Sani berpandangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 harus dilakukan sebagai the living constitution atau konstitusi yang hidup. Makna dari konstitusi yang hidup itu artinya, kalau dirasakan perlu ada amandemen, maka bisa dilakukan.

“Jangan kita tutup (amandemen). Tapi kalau kita kemudian merasa tidak perlu diamandemen, ya nggak usah dipaksakan juga,” kata Arsul berbicara dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945 dalam Mencapai Cita-cita Bangsa” yang digelar di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).

Kenapa seperti itu? Karena menurut Arsul, pasca pidato Ketua MPR RI dalam Sidang Tahunan pada 16 Agustus itu, maka menggelinding lah kesan yang ditangkap publik bahwa seolah-olah MPR itu sudah memutuskan akan melakukan amandemen.

“Tapi saya sudah sampaikan di mana-mana juga, terutama meskipun ada pidato itu jangan dimaknai bahwa MPR itu sudah memutuskan amandemen. Karena yang namanya Pimpinan MPR yang bersepuluh, apalagi Ketua MPR yang hanya satu orang, tidak punya kewenangan untuk memutuskan, apakah akan dilakukan amandemen atau tidak,” tegasnya.

Dikatakan Arsul bahwa kewenangan untuk melakukan amandemen atau tidak itu, kembalikan kepada aturan yang ada di Pasal 37 UUD NRI 1945, dimana disebutkan kewenangannya itu ada pada minimal sepertiga berarti dari 711 Anggota MPR yang terdiri dari Anggota DPR da DPD itu. Berarti 237 atau 238, itu baru kemudian timbul kewenangan MPR itu untuk melakukan amandemen.

“Selama itu hanya katakan lah yang 10 itu sepakat semua saja, ya enggak bisa. Jjadi itu itu dulu yang harus dipahami. Sara memahaminya bagaimana, memahaminya yaitu sekedar wacana, kenapa wacana itu digulirkan, ya karena ada rekomendasi dari MPR periode lalu, dimana ada sejumlah rekomendasi,” bebernya.

Rekomendasi MPR periode lalu yang dimaksud Arsul, pertama adalah untuk melakukan pengkajian amandemen terbatas, berupa introduksi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan payung hukum Ketetapan (TAP) MPR.

“Yang berarti, kalau payung hukum yaitu TAP MPR, perlu amandemen posisinya memang pada saat itu, di akhir MPR periode lalu, dimana ada 7 fraksi plus kelompok DPD yang setuju. Itu ada PPHN dengan TAP MPR, ada 3 fraksi yang setuju dengan PPHN tapi payung hukumnya dengan undang-undang, yakni Fraksinya Demokrat, Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PKS,” sebutnya.

Jadi soal PPHN ini, masih menurut Arsul, semua fraksi sepakat. Sedang yang tidak sepakat atau yang berbeda pendapat itu adalah payung hukumnya. Tentu yang tidak sepakat paling kalau dengan TAP MPR. Tapi sepakat dengan PPHN tentu PPHNnya kemudian menggantikan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,” demikian Arsul Sani. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.