Pengamat Sebut Jual Beli Jabatan Sudah Membudaya

by
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan, praktik jual beli jabatan dalam pemerintahan sudah mengakar sejak lama, bahkan sudah membudaya karena hampir setiap pemerintahan Kota, Kabupaten  maupun pemerintah Provinsi ada yang mempermainkan jabatan itu.

“OTT kemarin itu seperti fenomena puncak  gunung es, di bawahnya itu masih ada tetapi tidak kelihatan,” kata Trubus saat dihubungi beritabuana.co di Jakarta, Selasa (11/5/2021).

Hal ini dikatakan terkait kasus Bupati Nganjuk, Jawa Timur,  Novi Rahman Hidayat yang ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Bareskrim Polri, Minggu(9/5/2021) lalu  karena dugaan jual beli jabatan di pemerintahan Kabupaten Nganjuk. Novi bersama beberapa yang lain sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah ditahan.

Seperti diberitakan, sejumlah camat di Kabupaten Nganjuk memberi sejumlah uang kepada Novi Rahman melalui ajudan terkait mutasi dan promosi jabatan mereka dan pengisian jabatan tingkat kecamatan di jajaran Pemerintah Kabupaten Nganjuk dengan memasang tarif.

Ironisnya, kasus serupa sudah pernah terjadi di tahun 2016; yaitu Bupati Nganjuk saat itu, Taufiqurrahman ditangkap KPK karena kasus jual beli jabatan. Kasus jual beli jabatan yang menjerat kepala daerah juga pernah terjadi di Klaten dan Kudus, serta Cirebon.

Trubus Rahardiansyah menyatakan sangat prihatin dengan praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintah di daerah karena sudah berulang-ulang. Menurut dia, kasus ini bisa terjadi karena lemahnya low inforcement atau penegakan hukum. Pengawasan internal yang ada di tingkat pemerintah kota atau kabupaten begitu lemah, karena pejabatnya (inspektorat) diangkat memakai SK oleh kepala daerah itu sendiri, sehingga ini pun menjadi persoalan tersendiri.

Sudah mengakar lama kata Trubus karena seorang kepala daerah membutuhkan uang yang tak sedikit pada waktu yang bersangkutan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Sehingga pada saat dia menjabat maka dia berusaha mencari sumber lainnya untuk menutupi biaya politik pada saat pemilihan.

Sehingga, praktek jual beli jabatan kata Trubus bisa terjadi dimana saja. Kasus yang menimpa Novi Rahman kata dia hanya karena kebodohan saja sehingga sampai tertangkap. Sebab, ada pejabat Bupati yang bermain cantik dalam melakukan jual beli jabatan di lingkungan pemerintah yang dipimpinnya.

Selain penegakan hukum yang lemah, Trubus juga menilai,  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10/2010 tak pernah ditegakkan. PP ini mengatur soal kedisiplinan para pegawai atau aparatur sipil. Rendahnya disiplin ini pun kata dia justru bersumber dari politisasi di jabatan-jabatan itu.

Dalam kaitan ini menurut Trubus, perampingan-perampingan jabatan struktural di kantor pemerintah menjadi rebutan. Sementara, kepala daerah memainkan peran penting, karena memo kepala daerah sangat menentukan.

Dia mengatakan lagi, praktek jual beli di suatu pemerintahan sudah begitu akut dan membudaya. Praktik ini pun disebut sebagai bagian dari KKN atau kolusi, korupsi dan nepotisme.

Untuk itu, Trubus mendorong menjalankan reformasi birokrasi yang sesungguhnya, yang selama ini dinilai belum berhasil. Reformasi birokrasi baru sekedar memutasi jabatan dan faktor like and dislike. Begitu juga dengan revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi dinilai belum berjalan seperti yang diinginkan.

“Praktik jual beli jabatan harus distop, laksanakan reformasi birokrasi, revolusi mental harus dijalankan disertai penegakan hukum,” kata Trubus.

Praktik jual beli jabatan ini pun bisa terjadi tambah Trubus karena ada kelemahan pengawasan di Kementerian Dalam Negeri. Seharusnya Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dapat memastikan semua proses mutasi dan promosi jabatan di setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi berjalan sesuai dengan aturan yang ada. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *