Adakah Kepentingan Publik dalam Revisi UU Pemilu?

by
Ilustrasi.
Graal Taliawo (Ist)

Oleh: R. Graal Taliawo (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia, asal Halmahera)

PERPOLITIKAN Indonesia selalu menarik untuk dibahas dan tak ada habisnya. Salah satunya adalah isu revisi UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 yang sempat ramai dibicarakan banyak kalangan. Diusulkan sendiri oleh DPR, tapi awal Maret silam, revisi UU Pemilu justru batal dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021—yang berarti batal juga untuk dibahas.

Awalnya, mayoritas fraksi menyetujui draf RUU Pemilu yang diusulkan, termasuk bagian mengenai Pilkada digelar pada 2022 dan 2023. Mereka adalah PKS, Demokrat, Golkar, dan NasDem. Sedangkan PDIP dan PKB berada di posisi seberang, menginginkan Pilkada digelar pada 2024. Namun, kabarnya setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap menolak revisi UU Pemilu ini, beberapa fraksi pendukung pemerintah di DPR pun berubah haluan, yakni Golkar dan NasDem.

Kini, terdapat tujuh fraksi yang bersikap tidak akan melanjutkan pembahasan revisi UU pemilu—PDIP, Gerindra, PPP, PAN, PKB, Golkar, dan NasDem—dan dua fraksi tetap ingin melanjutkan pembahasan revisi—Demokrat dan PKS. Sikap plinplan DPR ini menimbulkan prasangka dari publik.

Padahal, banyak faktor mengapa revisi UU Pemilu urgen dilakukan, becermin pada Pemilu Serentak 2019 lalu. Basis argumennya adalah untuk mengerek kualitas pemilu dan kedewasaan dalam berdemokrasi. Pada 2019, masyarakat dibuat bingung dengan pilihan yang banyak untuk lima surat suara—juga pemilihan tingkat nasional dan lokal sekaligus. Belum lagi polarisasi dan perbedaan pilihan yang rentan menimbulkan kekerasan sosial. Yang parah, penyelenggaraan pemilu tersebut bahkan memakan banyak korban jiwa penyelenggara yang kelelahan karena beban kerja yang padat.

Selain itu, jika Pemilu Serentak 2024 tetap diselenggarakan, berarti pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan legislatif pusat hingga daerah wajib diselenggarakan secara serentak. Ini membutuhkan mekanisme dan sistem kerja yang tepat supaya tidak ada lagi korban jiwa.

Selain itu, banyak pejabat publik yang masa menjabatnya berakhir pada 2022 dan 2023. Pada periode tersebut, ada kekosongan jabatan yang digantikan oleh penjabat, yang dipilih atau ditunjuk langsung oleh Pemerintah—gubernur dipilih Presiden serta wali kota dan bupati dipilih Menteri Dalam Negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *