Adakah Kepentingan Publik dalam Revisi UU Pemilu?

by
Ilustrasi.

Turut posisi dan daerah dengan penjabat adalah Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Tengah, dan lainnya. Daerah-daerah ini terbilang strategis ditambah sosok pemimpinnya yang juga diperkirakan potensial ke depan. Mekanisme penunjukkan ini tentu berpotensi besar sarat akan konflik kepentingan.

Sosok yang dipilih nantinya pun bisa jadi sangat bergantung pada preferensi pribadi Presiden dan Mendagri dan timbang-menimbang politis, sehingga praktik bagi-bagi kue pun jadi keniscayaan. Ini disayangkan, mengingat penjabat yang ditunjuk memiliki fungsi penganggaran dan eksekutif di daerah yang penting, termasuk mengemban tanggung jawab besar mengebut penuntasan Covid-19.

Catatan lainnya, para pemimpin daerah yang melenggang lewat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, praktis hanya memimpin 3,5 tahun dan relatif diuntungkan jika hendak mencalonkan diri kembali sebagai petahana. Lepas dari rekam jejak dan nihilnya prestasi, para pemimpin daerah yang kebanyakan memanfaatkan coattail effect keluarga atau bagian dinasti politik pun tetap punya peluang tinggi untuk terpilih lagi.

Pertimbangan lainnya, ada masalah biaya yang membengkak jika pelaksanaan pemilu tetap digelar berbarengan. Yang lebih strategis tentu saja, mereka tak mau jika kader mereka yang kini menjabat sebagai kepala daerah harus kehilangan momentum di pemilihan umum berikutnya, jika terpaksa “menganggur” selama satu hingga dua tahun setelah lengser di 2022 dan 2023.

Lepas dari lobi-lobi politik yang membuat banyak fraksi balik badan, publik disuguhi argumen yang menjengkelkan atas mereka yang menolak revisi UU Pemilu. Bahwasanya, patokan pada perhitungan untung-rugi elite partai menjadi salah satu faktor. Sebagai contoh, ketika ditanyai alasan Gerindra menolak revisi UU Pemilu ini, Supratman (Ketua Baleg, yang juga politikus Gerindra) menjawab, “Ini soal hitung-hitungan partai, termasuk strategi Pemilu 2024,” (koran.tempo.co, 24 Februari 2021).

Jangankan memperdebatkan poin-poin yang lebih substansial seperti penurunan ambang batas Parlemen atau Presiden, diskursus yang mengemuka hanya direduksi sebatas memajukan waktu pelaksanaan pemilu atau menjadikannya serentak di 2024.

Argumen lainnya adalah efisiensi waktu dan ongkos politik. Penyelenggaraan cukup dilaksanakan sekali untuk banyak pemilihan. Kemudian, para calon pejabat publik bisa saling berbagi ongkos politik, sehingga dinilai akan mengurangi biaya politik. Prioritas mitigasi Covid-19 pun menjadi argumen. Ironisnya, mereka pula yang paling getol mendukung kebijakan Budi Karya Sumadi soal mudik Lebaran yang ingin tetap digelar tahun ini. Padahal kasus Covid-19 Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda mereda, bahkan per hari ini tembus nyaris 1,5 juta kasus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *