Demokratisasi dan Reformasi Polri Menuju Indonesia Maju

by
Dr Andry Wibowo SIK. MH, MSI

POLISI dimana saja merupakan organ fungsional dari negara yang memiliki fungsi sangat mendasar bagi terselenggaranya suatu kehidupan yang teratur (living in order). Kekuasaan kepolisian (police power) terelaborasi kedalam peran polisionil (police role) dan wewenang polisionil (police authority) yang dapat dijumpai dalam wajah keseharian polisi dengan berbagai kesan yang berbeda beda.

Dalam sejarah peradaban polisi di dunia, interaksi yang kompleks antara polisi dengan berbagai kelompok masyarakat selalu menghasilkan beragam persepsi. Polisi sebagai suatu realitas kekuasaan negara yang beroperasi selaras dengan kompleksitas denyut nadi kehidupan. Wewenang polisi dipahami sebagai kekuasaan yang dibutuhkan pada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Secara alamiah polisi adalah organ dan fungsi pengatur kehidupan yang ditujukan demi terwujudnya kohesifitas sosial melalui upaya upaya pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakkan hukum (law and order). Kekuasaan kepolisian sendiri bersifat organik yang tumbuh secara alamiah di dalam organisme kehidupan masyakat.

Kita mengenal berbagai macam model pemolisian, mulai dari “folk policing” sampai dengan kekuasaan kepolisian yang diletakan dalam sistem nilai yang modern “modern policing.” Melalui pendekatan institusionalisasi kekuasaan kepolisian pada struktur birokrasi negara modern, yang menurut Van Vallen Hoven menjadikan kekuasaan kepolisian semakin otonom, berbeda dengan kekuasan kehakiman, kekuasaan praja dan pembuatan undang undang.

Sebagai organ dan fungsi dasar dari peradaban, polisi pun tunduk pada hukum sejarah peradaban. Polisi sangat diwarnai oleh kompleksitas sejarah perkembangan masyarakat yang berjalan secara evolutif. Dengan demikian sejarah dapat memotret bagaimana tumbuh berkembangnya organisasi polisi dan pemolisiannya dalam setiap jaman. Termasuk perkembangan jaman saat ini yang memasuki era abad 21, yang diwarnai oleh demokratisasi dalam era masyarakat informasi.

Pada era demokratisasi di seluruh dunia termasuk Indonesia setidaknya ada empat norma dasar yang menjadi muatan perubahan dalam proses reformasi kepolisian:

1. Polisi wajib memberikan prioritas operasionalnya pada pelayanan seluruh warga negara secara adil dan merata;

2. Polisi bekerja pada kerangka hukum dan undang undang.

3. Polisi wajib melindungi hak asasi manusia setiap warga, sebagaimana diatur dalam konstitusinya.

4. Adanya transparansi dalam mengelola organisasi dan operasionalisasi kepolisian.

Dengan keempat norma tersebut maka perkembangan demokratisasi di tubuh kepolisian menjadi salah satu indikator utama sejauh mana demokrasi di dalam suatu negara bekerja.

Selain empat norma diatas yang bersifat mendasar sebagai tolok ukur dalam melihat sejauh mana sistem demokrasi bekerja di dalam tubuh kepolisian, demokratisasi juga mendorong polisi untuk bekerja lebih cerdas berorientasi pada ilmu pengetahuan (saintifik). Praktek pemolisian yang memiliki landasan teori yang kuat dipadukan secara integratif dengan pengalaman pemolisian terbaik di semua level kepemimpinan.

Hal-hal yang berurusan dengan pengambilan keputusan kebijakan strategis, pengembangan organisasi; level manajerial yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya organisasi yang meliputi aspek manusia, anggaran, sarana dan prasarana serta metode maupun aspek operasionalnya. Kondisi ini dapat menunjukan indikator wajah profesionalisme polisi berkaitan dengan taktik, teknis dan komunikasi polisi dengan masyarakat.

Semuanya akan bermuara pada praktek keseharian pemolisian, atau dengan kata lain demokratisasi polisi memerlukan reformasi integral dalam aspek “soul and mind ” yang memuat spirit, mental, orientasi dan motivasi organisasi. Belum lagi aspek inderawi (sense) organisasi yang meliputi kelengkapan struktur organisasi serta efektifitas profesionalisme fungsi kepolisian dan kemanfataannya dalam mengelola kompleksitas permasalahan negara dan masyarakat. Begitu kompleksnya jalan reformasi kepolisian yang perlu ditempuh.

Reformasi kepolisian dimanapun memang menghadapi kompleksitas tantangan. Namun, keberlanjutan reformasi kepolisian sangat diperlukan. Hal ini harus menjadi komitmen pimpinan kepolisian level atas (top leadership). Pengalaman dari banyak negara, komitmen pemimpin di level atas akan sangat mempengaruhi formulasi demokratisasi pada tingkat manajemen di bawahnya. Para pemimpin level atas akan menjadi contoh sekaligus aktor utama yang memastikan proses demokratisasi polisi berjalan di semua level.

Pentingnya faktor kepemimpinan dalam upaya melakukan demokratisasi dan reformasi kepolisian, mensyaratkan figur pemimpin yang cakap, berani, cerdas, berintegritas, serta dapat memberikan tauladan kepada seluruh personil. Oleh karena itu, perlu komitmen kuat dari seluruh unsur pimpinan baik di tingkat tinggi, menengah maupun pertama untuk bertindak dan berpikir sebagai seorang pemimpin sekaligus guru.

Sesuai dengan filosofi dasar guru yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Ing Ngarso Sung Tulodo, pemimpin berada di depan untuk memberi contoh baik (ketauladanan). Ing Madyo Mangun Karso, pemimpin berada di posisi tengah untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Dan Tut Wuri Handayani, pemimpin berada di belakang mendorong dan menghargai potensi anak buahnya.

Dinamika kesiapan sumber daya organisasi khususnya personil, menjadi faktor kunci dari proses demokratisasi polisi. Siklus pembentukan karakter personil yang diawali dari proses rekruitmen selektif berbasis kualitas dan kompetensi. Pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada pembangunan karakter polisi demokratis. Kemampuan personil (skill) dalam memecahkan persoalan, sekaligus personil yang mampu menjadi problem solver bagi masalah organisasi dan masyarakat. Hal lainnya, promosi jabatan yang berorientasi pada kesiapan personil dalam menjalankan peran yang dibutuhkan, yang semuanya diorientasikan selaras dengan pencapaian misi organisasi.

Proses reformasi kepolisian dimanapun akan melihat apa yang dikerjakan oleh polisi (what is done), bukan apa yang menjadi out come dari pekerjaan polisi itu sendiri (what is achieved). Sebagai contoh, patroli polisi akan dilihat sebagai tampilan dari fungsi pokok kepolisian. Tidak berhenti apakah patroli itu akan mampu bekerja mengurangi angka kejahatan (goal orientation) . Tetapi Persoalan berikutnya adalah terletak pada soal cara. Bagaimana patroli polisi pada pelaksanaan pemolisian demokratis akan sangat berbeda dengan cara berpatroli polisi pada masa era otoriter. Demikian pula pelaksanaan pemolisian pada organ dan fungsi kepolisian lainnya tidak diorientasikan sebatas bagaimana gangguan keamanan dapat dikendalikan tetapi juga seberapa demokratis cara cara polisi di operasionalkan.

Inilah pekerjaan rumah yang masih harus dibenahi oleh Polri di masa datang. Indonesia maju dan demokratis adalah harapan besar masyarakat dan bangsa. Sebagaimana visi presiden Jokowi pada periode kedua ini tentang kesiapan sumber daya manusia unggul Indonesia. Keberhasilan demokratisasi Polri sangat tergantung pada road map demokratisasi polisi kedepan, khususnya bagaimana polri mampu mengevaluasi grand strategi reformasi polri tahap pertama yang sudah masuk pada tahap ” strive for excellent.”

Untuk menyusun road map reformasi polri tahap II yang disesuaikan dengan proyeksi dunia kedepan, perlu dilakukan audit yang tepat terhadap capaian, instrumen, program, dan alat ukur yang selama ini digunakan untuk pengembangan dan penguatan organisasi. Diperlukan juga ranncang bangun struktur, organisasi dan kapasitas polisi ke depan sesuai dengan kebutuhan demokrasi di Indonesia demi terwujudnya postur Polri sebagai penjaga konstitusi negara yang demokratis.

*Dr. Andry Wibowo* (Seorang Anggota Kepolisian Republik Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *