Optimalisasi Pasukan Khusus TNI dalam Menghadapi Kompeksitas Ancaman Keamanan Nasional Sangat Diperlukan

by

BERITABUANA.CO, JAKARTA- Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), Laksamana Madya (Laksdya) TNI Dr. Amarulla Octavian menyatakan bahwa perkembangan revolusi industri 4.0, ancaman senjata nuklir, biologi, kimia, serta perang siber menuntut optimalisasi kemampuan TNI, khususnya pasukan khusus, dalam mendeteksi dan menghadapi kompleksitas ancaman kemanan nasional.

Secara khusus, ia juga menyoroti kemungkinan besar ancaman ke depan seperti Covid-19 yang digunakan sebagai senjata biologi, serta ancaman siber seperti bom elektronik yang dapat memadamkan listrik lebih dari 24 jam yang perlu diwaspadai.

Hal itu disampaikan Rektor Unhan dalam acara Webminar Seri Kelima bertajuk ‘Pasukan Elite Tiga Matra dan Empat Pilar MPR RI’ Rabu (21/10/2020). Acara tersebut diselenggarakan oleh Indonesia Peace dan Conflict Resolution Association (IPCRA) dan Ikatan Alumni Unhan.

“Sifat operasi khusus di abad 21 ini sangat luas yang terbagi menjadi spektrum masa damai dan masa perang. Pada masa damai, pasukan khusus dapat dioperasikan untuk bantuan kemanusiaan, mengatasi terorisme hingga operasi khusus seperti peperangan hibrida,” kata Octavian.

Seiring dengan luas spektrum operasi khusus tersebut, lanjut Octavian, maka pasukan khusus ke depan tidak hanya menjadi instrumen militer, namun juga politik dan diplomasi.

“(Juga) beroperasi di arena internasional, serta sebagai kekuatan awal dalam menghadapi ancaman militer, non-militer dan hibrida,” jelas perwira tinggi bergelar Doktor ini.

Hal senada disampaikan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Ia menuturkan, peningkatan kapasitas pasukan khusus harus menjadi sebuah upaya yang berkesinambungan.

“Sebab, berbaurnya ancaman militer dan non militer mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis global yang sulit diprediksi dan diantisipasi,” katanya.

Bamsoet begitu disapa, konsepsi mengenai ancaman keamanan nasional telah mengalami pergeseran, di mana ancaman keamanan nasional tidak hanya dalam bentuk konvensional, namun juga non-konvensional yang bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis yang hadir antara lain dengan berkembangnya sikap intoleran, tumbuhnya radikalisme dan terorisme.

“Selain itu, munculnya sikap disintegrasi hingga separatisme, serta berbagai bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,” ucapnya.

Lebih lanjut, Bamsoet menuturkan, pasca reformasi terjadi kekosongan yang luar biasa terhadap pembinaan mental ideologi bangsa, terutama pada anak-anak Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi. Akibatnya, data PPIM UIN 2018 menyebutkan, sebanyak 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain.

Berdasarkan data Kemhan, sebanyak 3 persen anggota TNI terpapar ekstrimisme. Bahkan, survei Alvara menyatakan, 19,4 persen PNS tidak setuju Pancasila.

“(Lalu) Survei Cisfrom 2018 menyatakan, 36,5 persen kampus islam setuju khilafah, serta data BNPT menyatakan tujuh kampus terpapar ekstrimisme agama,” tuturnya kepada lebih dari seribu peserta Webminar.

Satuan Pemukul

Sementara itu, Danjen Kopassus, Mayjen TNI M. Hasan menyatakan, Kopassus dibutuhkan sebagai satuan pemukul yang memiliki kemampuan dan fleksilibilitas tinggi dengan bertujuan untuk merubah perimbangan strategis.

Menurutnya, Kopassus selalu siap digerakkan dalam menghadapi ancaman militer, non militer dan hibdria, serta potensi ancaman saat ini, yaitu Covid-19, krisis ekonomi, perang siber, media sosial, perang nubika, bencana alam, proxy war, terorisme, narkoba, dan ideologi.

Lebih lanjut, strategi Kopassus dalam menghadapi kompeksitas ancaman tersebut adalah dengan mewujudkan Kopassus yang adaptif, fleksibel, modern dan tangguh dengan pembangunan postur Kopassus yang highly prepared, highly trained, highly equipped dan highly supported.

“Secara khusus, dalam menghadapi ancaman terorisme, Kopassus sudah melakukan sejak tahun 1981 dan telah diakui oleh dunia,” kata perwira tinggi lulusan Akademi Militer Angkatan 1993 ini.

Untuk itu, lanjut mantan Komandan Grup A Paspampres ini, dari sisi kemampuan dan pengalaman, Kopassus mampu dan siap dalam mengatasi aksi terorisme, namun perlu adanya payung hukum berupa peraturan presiden yang sedang dirancang saat ini.

Komandan Marinir, Mayjen TNI (Mar) Suhartono yang juga hadir dalam kesempatan ini juga ikut menjelaskan, latar belakang pembentukan pasukan khusus Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). Menurut dia, pembentukan Denjaka karena banyaknya objek vital nasional berada di daerah pantai dan lepas pantai.

Secara khusus, ia juga menyoroti latar belakang meningkatnya ancaman terorisme internasional, perlunya penanggulangan teror aspek laut, serta belum terbentuknya kesenjataan yang menangani secara khusus terhadap penanggulangan terorisme di laut.

Untuk itu, ia berharap perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme dapat segera selesai sesuai dengan amanat undang-undang.

Sedangkan, Dankorpaskhas, Marsda TNI Eris Widodo menyatakan, bahwa sesuai Pidato Presiden Joko Widodo, pada peringatan HUT TNI Ke-75 di Istana Negara, ketika berbicara ancaman hibdrida, maka dapat muncul ancaman konvensional dan non-konvensional.

“Ketika ancaman tersebut masuk kepada perang hibrida, maka cara berperang menjadi demasifikasi, yaitu pelibatan unit kecil, teknologi persenjataan yang presisi, serta perang drone,” katanya.

Untuk itu, peran pasukan khusus dengan misi khusus yang memiliki keunggulan kecepatan dan fleksibilitas menjadi penting dan relevan dalam aspek penangkal, penindak dan pemulih ancaman tersebut.

Sebagai penyelenggara Webminar, Ketua IPCRA, Bonar Nasution, menambahkan, selain untuk memperingati HUT ke 75 TNI, kegiatan ini bertujuan untuk membuka wawasan publik mengenai peran strategis TNI, khususnya pasukan elite dari tiga matra, dalam menghadapi kompleksitas ancaman keamanan nasional ke depan. (006)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *