Lumbung Pangan Berkelanjutan di Kalteng

by
Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo saat meninjau proyek lumbung pangan di Kalteng.
Teras Narang.

Oleh: Dr. Agustin Teras Narang, S.H.*

LUMBUNG Pangan Berkelanjutan atau Sustainable Food Estate. Istilah ini saya usulkan pada Bapak Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai nama untuk lumbung pangan yang digagas pemerintah saat ini. Keberlanjutan, adalah kunci dalam agenda besar untuk mewujudkan ketahanan serta kedaulatan pangan nasional. Terlebih di tengah bayang-bayang krisis pangan akibat dampak pandemi virus corona atau Covid-19.

Lumbung Pangan Berkelanjutan atau Sustainable Food Estate ini, diterima dan disepakati sebagai istilah penting oleh Kementerian LHK dalam diskusi yang digelar secara virtual pada Jumat (17/07/2020) lalu atas inisiatif Wakil Menteri LHK. Pertemuan ini mengundang anggota Dewan Perwakilan Daerah RI dari pulau Kalimantan, untuk berbagi perspektif bersama.

Keberlanjutan sendiri memang merupakan kunci yang perlu ditekankan dalam rencana pengembangan lumbung pangan ini. Selain karena memang kita berharap bahwa setiap program pemerintah berkelanjutan dan berdampak luas bagi kesejahteraan rakyat, kita sendiri di Kalimantan Tengah memang memiliki pengalaman pahit dalam program sejenis. Tak hanya tak berlanjut sejak era Presiden Soeharto, tapi juga ada kesalahan besar dalam penataan lahan gambut yang berdampak pada kita hingga hari ini.

Reposisi eks PLG

Atas dasar itu, Wakil Menteri LHK sebagai putera daerah yang mengetahui dengan baik soal lahan eks PLG di Kalimantan Tengah, memberikan catatannya. Bahwa langkah pemerintah dalam rencana pengembangan Lumbung Pangan Berkelanjutan atau Sustainable Food Estate ini tidak lain merupakan sebuah reposisi terhadap lahan eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Artinya, sebuah upaya penataan kembali lahan eks PLG dalam rangka pengembangan Lumbung Pangan Berkelanjutan, sekaligus meneruskan upaya revitalisasi dan rehabilitasi wilayah gambut di Kalteng.

Perlu diketahui, bahwa lahan eks PLG sendiri terdiri dari beberapa wilayah yang memiliki kondisi geologis berbeda. Meski masyarakat awam mengenal semua sebagai wilayah gambut, namun dalam faktanya dari 1,4 juta hektar lahan eks PLG ada beragam lahan yang berbeda. Sehingga dengan demikian, pengembangan Lumbung Pangan Berkelanjutan akan melakukan pemetaan atas keragaman kondisi tersebut.

Perlu juga upaya memastikan bahwa lahan-lahan sawah yang tidak produktif dikelola kembali. Lahan dengan tanah aluvial yang bisa diberdayakan ditingkatkan kembali fungsinya, serta untuk lahan gambut sendiri akan dipulihkan agar ekosistemnya bisa kembali basah serta dapat dikelola dengan skema paludikultur.

Reposisi dan revitalisasi ini penting dengan dukungan teknologi tepat guna, agar upaya pemulihan lahan gambut bisa dilakukan sebagaimana telah dibuktikan di beberapa lokasi oleh Kementerian LHK. Sehingga baik lahan gambut yang ada maupun lahan untuk pengembangan lumbung pangan berkelanjutan, bisa dikelola seiring sejalan untuk menjaga dimensi ekologisnya. Lebih jauh agar kelak, penataan ini bisa jadi model percontohan pemulihan lahan gambut sekaligus destinasi agro tourism dan eco tourism di wilayah Kalimantan Tengah.

Apakah memungkinkan konsep pemulihan dan penataan lahan gambut dengan pengembangan lumbung pangan berkelanjutan berjalan beriringan? Tentu saja mungkin, bila pemerintah serius menangani rencana ini dengan semangat keberlanjutan, kesiapan dukungan pendanaan, teknologi hingga sumber daya manusia yang unggul. Sebab pengalaman kegagalan sejenis pada 2008, salah satunya dipicu karena keterbatasan dana dan rendahnya komitmen kementerian terkait untuk menggarap.

Disinilah maka perlu ada komitmen keberlanjutan yang dibangun oleh seluruh pemangku kepentingan dalam rencana besar ini. Agar tidak mengulangi kesalahan berulang dalam upaya mendorong hadirnya lumbung pangan berkelanjutan sebagai penopang ketahanan serta kedaulatan pangan. Masuknya peran vital Kementerian Pertahanan yang telah menghitung berbagai kebutuhan dalam rencana ini, sebagaimana dalam artikel Harian Kompas “Food Estate, Prabowo dan Sekuritisasi”, Kamis (16/07/2020), mengindikasikan adanya potensi ancaman serius dari sektor ketahanan pangan yang mesti diantisipasi.

Payung Sosial dan Hukum

Begitu banyak isu yang mesti dikaji secara cermat dalam rencana pengembangan Lumbung Pangan Berkelanjutan ini. Namun secara umum, prinsipnya sama dengan arah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan pada 2015 lalu di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa. (www.sdg2030indonesia.org/)

Bahwa rencana ini wajib mengedepankan upaya mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Agar tak sampai agenda ini hanya jadi kepentingan pemburu rente, menguntungkan investor luar saja, hingga abai pada aspek ekologis.

Selanjutnya 3 hal penting mesti lekas dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan legal standing untuk agenda ini, membangun pendekatan partisipatif untuk pengelolaan isu serta penyiapan master plan agenda ini. Ketiga hal ini penting, agar sinergitas dan aspek regulasinya dapat memastikan berlangsungnya agenda ini dengan baik.
Kedudukan hukum atau legal standing atas rencana ini diharapkan dapat segera terbit. Agar masyarakat juga segera mengetahui. Selain itu kementerian terkait yang beberapa waktu kerap turun ke Kalimantan Tengah, juga agar punya konsep yang sama dengan kementerian serta lembaga lain. Payung hukum atas rencana ini, mendesak diperlukan termasuk menyelaraskannya dengan kepentingan restorasi gambut.

Dalam hal ini perlu juga dilakukan penataan peran serta kewenangan dari berbagai pihak, termasuk siapa yang akan memimpin agenda ini serta peran yang dimainkan kementerian terkait hingga pemerintah daerah. Semua ini perlu dicermati, agar tak mengulang kegagalan koordinasi dalam pengalaman sejenis di masa sebelumnya.

Selanjutnya, perlu ada upaya perancangan konsultasi publik yang partisipatif untuk mewujudkan itu, agar dalam perjalanan nantinya tak ada satupun pihak yang ditinggalkan (Leave no one behind) atau istilah yang sering saya sampaikan ke rakyat Kalteng, jangan sampai agenda ini menciptakan minoritas baru atau new minority.

Pendekatan partisipatif dari publik, perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menhindari prasangka sosial dan memantapkan kesatuan persepsi masyarakat.

Lalu tak bisa diabaikan, master plan dari rencana ini mesti juga lekas dikerjakan dan dijadikan landasan untuk komunikasi publik. Agar publik juga dapat mengawal, mengkritisi dan memberikan pandangan yang berguna bagi pematangan konsep keberlanjutan dalam program lumbung pangan berkelanjutan ini. Terlebih publik di Kalimantan Tengah sendiri yang memiliki banyak ahli dan akademisi yang dapat memberikan pandangan kritis dan objektif untuk kebaikan rencana ke depan.

Seluruh aspek baik sosial, budaya, ekonomi, hingga politik perlu dikaji dan rumuskan dalam master plan ini nantinya. Termasuk bagaimana langkah pertama menggarap luasan 165 ribu hektar tahap pertama untuk lumbung pangan, serta dukungan infrastruktur logistik dari hulu ke hilir dan pelibatan prioritas tenaga kerja lokal.

Penutup dan Saran

Dari perspektif DPD RI, rencana pembangunan Lumbung Pangan Berkelanjutan atau Sustainable Food Estate, harus kembali pada terwakilinya kepentingan daerah dalam agenda ini. Maka dirasa sangat penting agar simpang siur agenda ini lekas ditutup dengan adanya payung hukum dan sosialisasi publik yang intens. Terlebih publik masih memiliki persepsi bahwa beberapa proyek terdahulu gagal karena krisis. Maka perlu dijelaskan pula mengapa justeru dalam krisis pandemi Covid-19, pemerintah berani mendorongnya kembali.

Publik berhak menguji rencana ini, yang disebut akan terintegrasi dengan pengembangan kewilayahan. Termasuk terintegrasi dengan rencana pembangunan Ibu Kota Negara baru yang sedianya akan dibangun di Kalimantan. Pemerintah berkewajiban menjelaskan.
Dalam rencana pengembangan lumbung pangan berkelanjutan ini, peran kritis dan konstruktif dari publik akan menentukan. Terlebih kritik yang konstitusional, mengedepankan kebersamaan dan kesantunan sebagai bagian utuh dari bangsa Indonesia. Semoga pemerintah dapat memberikan penjelasan dan komitmen bahwa negara tak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa kepemimpinan Presiden sebelumnya. Agar kita benar-benar memiliki Lumbung Pangan Berkelanjutan, bukan semata wacana berkelanjutan tentang lumbung pangan.

* Penulis merupakan Ketua Komita I DPD RI dan Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *