Drama Pelarian Maria Pauline Lumowa, Buronan Pembobol BNI Rp 1,7 M, Berakhir di Serbia

by
ISTIMEWA

DRAMA pelarian pembobol bank BNI senilai Rp 1,7 triliun berhasil ditangkap dan diekstradisi ke lndonesia setelah 17 tahun menjadi buronan lnterpol manca negara. Maria Pauline Lumowa (62) dipulangkan ke lndonesia setelah setahun berada di tahanan otoritas negara Serbia.

Pengembalian buronan ini berhasil dilakukan pemerintah lndonesia berkat koordinasi antarinstansi di lndonesia yang intens melakukan pendekatan hubungan diplomatik serta kerja sama antar negara terutama dengan pemerintah Serbia (bekas negara pecahan Yugoslavia) yang punya hubungan bilateral yang panjang dengan lndonesia karena sama-sama menjadi deklarator berdirinya negara-negara non blok.

Koordinasi sejumlah instansi yang membawa pulang Maria ke tanah air terdiri Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksaan Agung, NCB Interpol lndonesia (Div Hubter Polri), Bareskrim Polri dan Kemenlu. Tim yang berangkat ke Serbia dipimpin Menkumham Yasonna Laoly.

Maria kini harus mengakhiri pelariannya lewat jalur ekstradisi dari Serbia pada Kamis (9/7). Padahal negara Serbia dengan lndonesia tak punya kerja
sama ekstradisi. Apalagi saat menjadi buronan Maria sudah memiliki paspor Belanda.

“Kerja sama (team work) dari tim yang berangkat ke Serbia bisa meyakinkan pemerintahnya, sehingga mengabulkan permintaan pemerintah lndonesia,” ujar seorang anggota delegasi kepada www.beritabuana.co.

Sementara menurut Menkumham Yasona Laoly, Maria ditangkap oleh NCB lnterpol Serbia di Bandara lnternasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.

“Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice lnterpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003,” kata Yasonna.

Setelah itu pemerintah lndonesia mengajukan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. Bahkan, pemerintah lndonesia melakukan permintaan percepatan ekstadisi.

Namun sumber www.beritabuana.co, menyebutkan proses permintaan ekstradisi itu berjalan cukup alot dan berliku. Penyebabnya pemerintah Belanda juga mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa, karena yang bersangkutan kini pemegang paspor Belanda.

Namun berkat pendekatan berbagai instansi di lndonesia dengan koleganya di negara Serbia, melalui jalur diplomatik dan intelijen, interpol dan pro aktif yang ditunjukkan Kemenkumham, akhirnya Serbia mengabulkan permintaan ekstradisi itu. Selain Menkumham Yasonna Laoly, di antara tim yang berangkat ke Serbia dari Badan lntelijen Negara Brigjen Pol Dr Winston Tommy Watuliu, sedangkan dari Bareskrim Polri, Kombes Pol Suyudi Aryo Seto, Wadir Tindak Pidana Khusus.

Maria Pauline Lumowa, wanita kelahiran Paleloan, Minahasa, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958 itu merupakan salah satu tersangka pembobolan dana Bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus pengajuan Letter of Credit (L/C) fiktif.

Kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun ini oleh Maria Pauline Lumowa dan kawan-kawannya, tampak sejak awal pengucuran fasilitas letter of credit alias L/C senilai US$ 157,4 juta dan 56,1 juta euro ini penuh kejanggalan.

Bukan cuma proses pengajuan yang menerabas prosedur normal. Penelitian terhadap berkas-berkas pengajuan L/C Rp 1,7 triliun oleh Maria Pauline banyak bolongnya.

Hasil tim audit BNI yang bekerja sejak awal Agustus 2003 saat itu membuktikan kejanggalan tersebut.

Misalnya, bank penerbit L/C-Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland SA, Middle East Bank Kenya, The Wall Street Banking Corp.-bukan termasuk bank koresponden BNI.

Tapi, BNI saat itu terkesan mengabaikannya karena tidak memverifikasi keabsahan dokumen pengapalan atau bill of loading (B/L).

Contohnya, jumlah barang pengiriman pasir kuarsa dan minyak residu yang tidak wajar. Dalam sebuah formulir tertulis, bobot seberat 1,5 juta metrik ton pasir, tapi yang diangkut cuma dengan satu kapal.

Pelabuhan yang dituju pun tak disebutkan pasti, alamat tujuan pengiriman barang juga tak jelas. Yang diketahui cuma B/L dikeluarkan oleh PT Celebes Jaya Lines.

Uniknya, L/C yang jatuh tempo dilunasi dengan uang yang didebet atau ditransfer dari rekening nasabah.

Padahal, seharusnya Bank BNI menagih ke bank penerbit L/C dan transfer dilakukan bank tersebut. BNI tampaknya menganggap wajar hal itu.

Bank BNI tak pernah mengajukan keberatan atas pembayaran ini. Lebih aneh lagi, ada beberapa wesel ekspor berjangka yang belum jatuh tempo malah sudah dimintakan perpanjangan sampai enam bulan.

Keterlibatan Orang Dalam

Kalau tidak dimuluskan oleh orang dalam BNI sendiri, hampir tak mungkin segala keanehan itu bisa berlangsung dari Desember 2002 sampai Juli 2003.

Seiring waktu, kejanggalan baru diketahui oleh bagian treasury BNI pada Juni 2003. Itu setelah ditemukan peningkatan angka kewajiban dalam mata uang euro di atas tingkat rata-rata. Mendapat laporan itu, tim audit BNI segera diturunkan.

Hasilnya, ditemukan kejanggalan seperti diterangkan di atas. Temuan tim audit tersebut lantas bocor ke publik yang kemudian menjadi skandal pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun dengan L/C fiktif.

Dugaan L/C fiktif ini oleh BNI kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dulu terbang ke Singapura pada September 2003, sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Hasil Tim Audit BNI kala itu juga menemukan fakta yang membuat publik saat itu terhenyak. Duit itu ternyata bukan diperuntukkan perdagangan pasir dan minyak.

Malah, 10 perusahaan yang terlibat dalam pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun itu mentransfer dana ke beberapa rekening.

Salah satunya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membayar aset PPAK. Dana juga lari ke PT Bukaka Marga Utama untuk membeli konsesi proyek jalan tol Ciawi-Sukabumi. Ironisnya, US$ 50,9 juta (Rp 433 miliar) di antaranya dipakai melunasi L/C ke BNI.

Salah satu langkah yang diusahakan saat itu untuk mengurangi risiko kerugian itu adalah memblokir rekening beberapa perusahaan dan perorangan yang diduga kecipratan aliran duit L/C itu.

Beberapa perusahaan terkait kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun itu juga ditelisik. Lalu muncul nama perusahaan PT Gramarindo Mega Indonesia dan anak perusahaannya Triranu Caraka Pasifik.

Pengelola Gramarindo antara lain Ollah Abdullah Agam, sedangkan Direktur Utama Triranu Caraka Pasifik adalah Jeffrey Baso.

Kasus itu juga menyeret PT Brokolin Internasional. Bankir veteran Dicky Iskandar Dinata adalah Pimpinan Eksekutif Brokolin Internasional juga menerima aliran dana dari Gramarindo.

Dicky dibekuk polisi pada Mei 2005. Dia dituduh melakukan pencucian uang dari hasil pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru melalui L/C fiktif itu.

Menariknya, tiga orang pemilik saham Brokolin juga pemilik Gramarindo, perusahaan yang disebut-sebut memperoleh dana Rp 1,7 triliun. Mereka adalah Pauline Maria Lumowa, Adrian Waworuntu, dan Jeffry Baso.

Dalam sidang kasus ini, Dicky mengaku tak mengetahui aliran dana dari L/C fiktif itu mengalir ke rekening perusahaannya.

Bekas Wakil Dirut Bank Duta dan juga bekas narapidana kasus valuta asing–skandal Bank Duta mengaku diperdaya oleh pemegang saham PT Brocolin Internasional, yakni Maria Pauline Lumowa, Adrian Waworuntu, Jeffrey Baso.

Mereka memasukkan dana yang dinyatakan berasal dari pencairan LC fiktif sebagai setoran modal pemegang saham perusahaan.

Atas kasus ini, pada 22 Februari 2005 silam Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengganjar mantan Dirut PT Brocolin International Dicky Iskandar Dinata dengan vonis 20 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 800 miliar.

Dicky terbukti melakukan korupsi pada pembobolan dana Bank BNI. Pada 28 November 2015, Dicky meninggal di Rumahsakit Pertamina.

Menyeret Berbagai Pihak

Adrian Herling Waworuntu yang menjadi otak pembobolan itu dijatuhi hukuman paling lama yaitu penjara seumur hidup atas kasus pembobolan BNI lewat L/C fiktif sebesar Rp 1,7 triliun ini.

Dengan hukuman ini, Adrian harus mendekam di balik jeruji besi sampai meningal dunia. Pria kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, pada 26 Juni 1951 itu membobol BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada awal 2003 dengan bendera PT Sarana Bintan Jaya.

Adapun tersangka pembobolan Bank BNI melalui L/C fiktif lainnya Jeffrey Baso. Ia divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta.

Kasus pembobolan BNI juga turut menyeret mantan Direktur Kriminal Khusus Mabes Polri Brigadir Jenderal Samuel Ismoko. Ismoko telah dibebaskan dari tahanan pada Kamis, 8 Februari 2007.

Pembebasan Ismoko sesuai dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengurangi hukuman Ismoko dari 18 bulan menjadi 13 bulan atau berkurang lima bulan.

Ismoko dihukum 18 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada September 2003. Ketika itu dia dinyatakan terbukti melanggar pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menerima uang Rp 250 juta dari Bank BNI.

Sementara Komjen Pol Suyitno Landung (2006), Mantan Kabareskrim Polri yang terbukti menerima mobil Nissan Extrail divonis 1 tahun 6 bulan penjara terkait kasus pembobolan Bank BNI. Menjadi tersangka pada 3 Juni 2005, Suyitno juga dinonaktifkan dari jabatan sebagai Kabareskrim dan hanya menyandang status Perwira Tinggi (Pati) Mabes Polri.

Selain Ismoko dan Suyitno Landung, kasus pembobolan BNI Rp 1,7 triliun itu juga menyeret Kepala Unit Tiga Serse Ekonomi Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Irman Santoso. Dalam kasus ini, Irman dijatuhi hukuman dua tahun delapan bulan penjara serta denda Rp 150 juta.(nico)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *