Pemolisian dan Tantangan Paradigma Post Normal Dalam Ilmu Sosial

by
Dr. Andry Wibowo, SIK., M.H.,MSI

” Upaya Melanjutkan Kehidupan, Disaat Jawaban Belum Ditemukan “

INSTRUMEN PENGETAHUAN

REVOLUSI ilmu pengetahuan dunia selalu dimulai dengan ditemukannya instrumen. Penemuan telescope menjadi awal dari revlolusi pengetahuan dalam ilmu fisika. Sebuah instrumen yang digunakan untuk melihat, mengamati, memeriksa keberadaan benda-benda langit yang jauh di angkasa luar. Dengan instrumen ini Galileo berhasil menyempurnakan konsep Copernicus yang menjadikan matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris). Instrumen ini juga memberikan dukungan bagi Galileo dalam menyusun konsep gravitasi, yang selanjutnya disempurnakan oleh Newton dan Einstein.

Dalam bidang keilmuan lainnya, Biologi telah berhasil mendokumentasikan berbagai macam penemuan setelah mikroskop sebagai instrumennya berhasil memperjelas berbagai macam sebab penyakit yang diakibatkan oleh bakteri maupun virus. Sebelum ditemukannya mikroskop, karena ketidaktahuannya membuat manusia merasa perlu pergi ke seorang dukun untuk mendapatkan asap kemenyan. Kini, baik ilmu fisika maupun biologi telah memberikan banyak sekali kontribusi kepada manusia untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya.

Pembahasan tentang abad 21 menjadi sangat menarik bagi ilmu sosial, karena pada abad ini telah berhasil ditemukan satu instrumen baru untuk mempelajari sikap dan prilaku manusia. Instrumen ini merupakan alat bantu untuk melihat obyek dari ilmu sosial itu sendiri, manusia. Studi yang mempelajari tentang prilaku manusia ini sendiri dikatagorikan sebagai sejarah. Keberlangsungan hidup manusia baik di masa lalu, hari ini maupun di masa yang akan datang. Jika ilmu fisika tunduk pada hukum tentang energi dan materi. Ilmu biologi pada hukum-hukum organism, maka sejarah adalah hukum besi bagi prilaku manusia.

Ada tiga hal cara untuk memandang dan mendefinisikan sejarah. Pertama, sejarah adalah sebuah rentetan peristiwa yang merujuk pada waktu. Kedua, sejarah merupakan pengalaman individu. Ketiga, sejarah sebagai landasan sikap dan prilaku, sebagai bentuk refleksi dari sebuah pengalaman, sebuah pemaknaan atas sesuatu. Sejarah adalah boundary problem yang memiliki konteks dan relevansi.

Instrumen untuk meneropong sejarah manusia hari ini adalah bersumber dari “jejak” prilaku manusia itu sendiri. Sebuah instrumen yang “merekam” fenomena sosial yang terjadi secara massif dan terjadi dalam waktu yang sama. Dunia menyebut instrumen baru ini sebagai jejak digital (big data). Instrumen yang diharapkan secara praktis dapat membantu mengurai dan menyelesaikan tugas sejarah manusia.

Sejarah mengenai apa yang terjadi di masa lalu atau hari ini, akan menjadi landasan yang mempengaruhi sikap dan prilaku manusia di masa yang akan datang. Prilaku masa depan manusia juga akan sangat ditentukan oleh sejarahnya. Upaya-upaya untuk memprediksi masa depan adalah “upaya untuk memprediksi masa lalu.” Karena masa lalu, hari ini, dan masa depan adalah sebuah kontinuitas. Jika manusia ingin mengetahui masa depan, maka manusia dituntut mengetahui masa sebelumnya.

Sejarah Kontinuitas Prilaku Manusia

Kemiskinan, konflik, terorisme, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, krisis pangan dan air bersih, perdagangan manusia, kejahatan transnasional, meningkatnya sektarianisme, rasisme, pandemi, adalah masalah sosial, karena terkait dengan keterlibatan banyak pihak. Persoalan yang dialami baik oleh individu, kelompok, bangsa, dan umat manusia di dunia adalah masalah sosial, yang bersumber dari prilaku dan sikap manusia.

Jika coba didefinisikan secara sederhana, ilmu fisika adalah cara mempelajari bagaimana alam semesta bekerja. Secara umum, ilmu ini memiliki 3 teori besar yang telah berhasil memecahkan berbagai fenomena yang terjadi alam. Pertama, teori fisika kuantum, yang membedah persoalan mikro, mulai dari partikel, neuron, molekul, elektron dan lainnya. Kedua, teori relativitas yang melihat persoalan alam di tingkat makro terkait ruang dan waktu. Dan N – body problem untuk melihat interaksi antar partikel, molekul, dan benda-benda. Fisika menyelesaikan fenomena alam ini secara terpisah sesuai dengan teorinya masing-masing. Upaya untuk menyatukan ketiganya, menjadi Obsesi para fisikawan di dunia yang belum terwujud hingga saat ini.

Kemampuan ilmu fisika untuk memecahkan fenomena alam, mendorong ilmu sosial untuk menggunakannya dalam memecahkan fenomena sosial yang terjadi. Meminjam 3 teori besar dalam ilmu fisika untuk melihat fenomena sosial, maka akan ditemukan katagorisasi sebagai berikut. Pada tingkat mikro, ada kognisi, psikologi dan spiritual yang menjadi ruang lingkup pembahasannya. Lalu, interaksi dapat dilihat dalam social networking. Dan secara makro ada ideologi, agama, budaya, poltik, dan menyangkut konsep klasik lainnya yang sudah cukup lama menjadi pembahasan ilmu sosial. Namun yang membedakan dengan fisika, ilmu sosial melakukan ketiganya secara bersamaan. Inilah yang menjadikan persoalan dalam ilmu sosial begitu kompleks. Penyelesaian masalah sosial menggunakan metode ilmu fisika, bukan hanya menjadi masalah atau realitas keseharian, melainkan juga menjadi problem intelektual yang merupakan tantangan bagi masa depan.

Untuk melakukan prediksi terhadap sejarah (prilaku manusia), sains belum dapat memberikan jawaban pasti tentang masa depan manusia itu sendiri. Dalam upaya memprediksi sejarah, pertanyaan besar dari upaya tersebut adalah apa yang musti diprediksi ? Lalu, pertanyaan yang juga sangat sulit untuk mendapatkan jawabannya adalah apa yang bisa diprediksi ? Dua kesulitan dari pertanyaan diatas terjadi karena ilmu sosial memerlukan konteks dan mencari relevansi yang kuat terhadap konteks tersebut. Sedangkan konteks dan relevansi baru ditemukan setelah peristiwa terjadi. Padahal, konteks dan relevansi, adalah bahan wajib yang diperlukan untuk dianalisis dalam melakukan prediksi.

Dalam melakukan prediksi terhadap sejarah, pertanyaannya bukan terletak pada apakah sejarah ini bisa diprediksi atau tidak. Kesulitannya adalah ketidaktahuan kita tentang apa yang bisa diprediksi. Menentukan apa yang memiliki relevansi yang kuat pada saat itu, itulah yang membuat sejarah menjadi sangat sulit untuk diprediksi. Sampai saat ini sains belum bisa memberikan jawaban dalam sebuah konteks, apa yang relevan pada sebuah konteks itu. Ini merupakan pertanyaan harian, tetapi jika dilihat secara saintifik akan sangat sulit, apalagi misalnya kita memakai cara pandang universalitas. Kita menggunakan hukum universal, teori universal, karena relevansi ini kontekstual, spesifik, dan ini akan berganti-ganti dan berbeda-beda.

Kesulitan demi kesulitan saintifik tersebut akan mendorong kita pada sebuah pertanyaan, apakah sains akan bersifat kontekstual dan tidak universal ? Inilah pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan ketika konteks, relevansi memiliki derajat kepentingan yang sangat tinggi dalan melakukan analisis ilmu pengetahuan itu yang berujung pada prediksi. Karena dalam memprediksi sejarah kesulitannya adalah mengetahui apa yang relevan. Karena relevansi baru diketahui setelah peristiwa terjadi. Manusia mengalami keterbatasan imajinasi dalam menentukan relevansi untuk melakukan kalkulasi.

Pandemi Covid 19 ini bukan satu krisis besar, melainkan campuran dari berbagai krisis, mulai dari kesehatan, sosial, ekonomi, politik, hukum, demografi, psikologis, infodemik, yang terjadi di berbagai negara pada waktu yang beda-beda. Krisis ini terjadi diakibatkan sifat dari penyakitnya yang memiliki masa inkubasi yang panjang dan bervariasi. Sehingga ada jeda panjang antara tindakan (sebab) dan konsekuensi (akibat). Dengan kondisi demikian, mustahil ditemukan definisi yang sama tentang apa yang sedang terjadi. Apalagi bersepakat tentang apa yg harus dilakukan.

Menggunakan model statistik untuk melakukan prediksi dari penyebaran penyakit ini jelas berguna, tapi prediksi tersebut menjadi lemah saat data-data yang diperlukan kurang, dan kondisi yang selalu berubah. Cara lain untuk memprediksi penyakit ini adalah dengan melakukan agregasi prediksi dari banyak pakar. Disinilah paradigma ilmu modern mengalami kebuntuan dalam menghadapi fenomena yang terjadi di dunia hari ini.

lmu pengetahuan bekerja melalui tiga tahap. Secara sederhana, ilmu memulai pertanyaannya tentang apa, bagaimana dan untuk apa. Materi disusun secara sistematis, ditelusuri sebab akibatnya, hingga ditemukan kemanfaatannya. Ilmu barulah sah dikatakan sebagai ilmu jika telah melewati proses pembuktian secara konsisten. Ilmu tidak memiliki sifat keabadian, bahkan membuka ruang lebar untuk sebuah bantahan hingga ditemukannya sebuah thesis baru. Dialektika “keraguan” ilmu pengetahuan dapat menjelaskan persoalan ini.

Jika sains modern digunakan untuk mencari dan menemukan hubungan kausalitas dari pandemi Covid 19 yang terjadi dunia, umat manusia sangat berpotensi mengalami kehilangan segalanya. Bukan hanya pekerjaan, manusia akan kehilangan waktu, kebahagiaan, cita-cita, hingga mati dalam kesunyian. Dibutuhkan terobosan, bukan untuk menabrak ilmu pengetahuan yang sedang bekerja keras untuk memberi penjelasan tentang apa yang sedang terjadi, melainkan sebuah upaya untuk menuntaskan akibat yang ditimbulkan dari sesuatu sebab yang belum diketahui.

Post Normal

Sains post-normal adalah sebuah pendekatan yang memanfaatkan sains ketika fakta tidak pasti, nilai masih diperdebatkan, implikasi keputusan sangat tinggi, dan keputusan mendesak segera untuk diambil. Pendekatan ini dikembangkan filsuf dan matematikawan Funtowicz dan Ravetz pada tahun 1993.

Pendekatan post normal menawarkan suatu metodologi yang di arahkan kepada pencarian solusi melalui penambahan peer community discussion sebagai jembatan dari kesenjangan antara pengetahuan dan sistem. Jembatan antara ketidakpastian substansi persoalan yang dipersoalkan dan kompleksitas pemangku kepentingan. Model peer community dalam pendekatan post normal mendorong pengambil kebijakan untuk melihat jauh kedepan atas berbagai isu yang berkembang. Untuk keberlanjutan hidup masyarakat dan lingkungannya yang merupakan faktor determinan pada kondisi ketidakpastian.

Pandemic Covid 19 yang dirasakan saat ini, pada kenyataannya menyadarkan kita semua, bahwa ada faktor yang belum ada dalam data empirik sehingga sulit dibaca oleh pendekatan paradigma ilmu modern saat ini. Virus Covid 19 memberikan kesadaran baru bagi pemangku kepentingan dan ilmuwan tentang kompleksitas lingkungan kehidupan. Kesadaran yang membawa umat manusia untuk melakukan evaluasi terhadap cara memaknai relasi populasi dan lingkungan hidupnya.

Pada konteks peran dan tanggung jawab kepolisian, yang terjadi di berbagai negara, polisi didorong untuk bekerja sama dengan banyak pihak, tidak saja untuk mengerjakan misi pokoknya dalam mengelola keamanan dan ketertiban masayarakat, tetapi tugas lainnya yang terkait dengan masalah sosial.

Kepolisian sebagai bagian dari sistem pemerintahan dengan struktur dan agen yang tersebar di semua lini kehidupan, bertujuan menjadi yang terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Melalui pendekatan berbasis orientasi misi dengan dukungan sumber daya organisasi yang terintegrasi, kepolisian baik secara alamiah maupun terencana ikut menjadi bagian penting dalam mencari solusi yang berkaitan dengan isu dasar seperti kesehatan, sandang, pangan dan papan.

Penyebaran Wabah Covid 19 yang tidak dapat diprediksi memiliki dampak yang sangat luas, tidak saja pada masalah kesehatan tetapi memiliki implikasi kepada persoalan ekonomi, sosial, kemanan, juga politik. Begitu kompleksnya dampak yang ditimbulkan dari virus ini memaksa institusi dan personel kepolisian untuk merubah cara pandanganya tentang persoalan keamanan dan ketertiban. Kepolisian dalam kondisi yang normal memiliki tugas pokok yang berhubungan dengan persoalan kriminogenik, kini dalan era new normal mendapatkan peran tambahan untuk membantu kesulitan hidup masyakat sebagai dampak dari pandemic Covid 19.

Pendekatan post normal dalam metodologi ilmu pengetahuan menjadi relevan ketika polisi bersama pemerintah dan masyarakat menghadapi persoalan perubahan lingkungan hidup akibat proses evolusi peradaban seperti lahirnya revolusi industri 4.0, perubahan iklim, maupun peristiwa yang terjadi baik secara alamiah seperti virus, bencana alam, dan hal yang belum dapat ditangkap sepenuhnya melalui pendekatan ilmu modern selama ini.

Pendekatan post normal sebagai bagian dari pendekatan post modern dalam merumuskan pengambilan kebijakan, mendorong sistem untuk merevisi model pemecahan masalah selama ini yang berbasis semata kepada orientasi misi organisasi. Kompleksitas permasalahan yang muncul serta ketidakpastian akan masa depan, menuntut kepolisian untuk melihat jauh ke depan terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat demi keberlanjutan hidupnya. Kepolisian diharapkan juga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai tempat tumbuh dan berkembang umat manusia.

Pandemic Covid 19 memberikan pelajaran penting terhadap pemahaman kita semua bahwa perubahan lingkungan dapat terjadi secara tiba-tiba diluar jangkauan analisa dan prediksi siapapun. Kejadian ini menjadi pengalaman bagi kita semua untuk menyiapkan sumber daya, memperbaiki model pengambilan kebijakan publik, menformulasikan ulang peran organisasi. Kepolisian perlu menyusun strategi baru untuk melibatkan komponen formal dan informal ( Peer Community Atau Democratization Of Science ) melalui pendekatan Post Normal yang berorientasi pada pemaknaan masalah melalui cara pandang ilmu ilmu pasti dan sosial secara teriintegrasi untuk memahami relatifitas problem yang diprediksi dan tidak dapat diprediksi dalam rangka memelihara keberlanjutan kehidupan yang terletak pada terpeliharanya keseimbangan antara populasi dan lingkungan guna mendukung terjaganya kebutuhan dasar manusia

*Andry Wibowo dan B. Hasanudin* – (Anggota Polri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *