RUU Omnibus Law Ciptaker Cacat Formil, Senator Minta DPR RI Hentikan Pembahasan

by
Wakil Ketua Komite III DPD RI, Rahman. (Foto: Dokumentasi Humas DPD)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite III DPD RI sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI, yang lingkup tugasnya membidangi ketenagakerjaan berwenang dan berkepentingan untuk memberikan pandangan dan pendapat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dari Pemerintah yang telah disampaikan dan tengah dibahas oleh DPR.

M. Rahman, selaku Wakil Ketua Komite III DPD RI dalam keterangab tertulisnya, Sabtu (17/4/2020) berpandangan bahwa RUU Cipta Kerja bertentangan dengan asas otonomi daerah Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 yang mengakui keberadaan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.

Karena itu, Rahman menilai RUU Cipta Kerja melanggar hak asasi warga negara seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, atas atas jaminan kesehatan, hak atas pendidikan yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi serta melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan dan memberikan hak-hak tersebut kepada swasta dan/atau asing.

“RUU Cipta Kerja akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam hal terjadinya pelanggaran, tidak jelas norma hukum mana yang harus diterapkan mengingat norma tentang pelanggaran dan/atau sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang yang menjadi muatan RUU Cipta Kerja tersebut beberapa diantaranya tidak direvisi dan/atau dicabut,” tegasnya.

Tuntutan ini sangat beralasan karena menurut Rahman, beberapa hasil telaah atas pandangan tersebut nyata-nyata RUU Cipta Kerja menghapus semua kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal pendaftaran serta perizinan berusaha dan mengalihkannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

“RUU ini hanya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah selain pendaftaran dan perizinan berusaha,” ungkapnya.

Apalagi, lanjut Rahman, Pasal 75 RUU Cipta Kerja, mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) untuk melaporkan kepada Pemerintah Pusat bukan kepada Kanwil Agama setempat, setiap pembukaan kantor cabangnya di luar domisili perusahaan merupakan kebijakan yang tidak efektif dan efisien serta berpotensi menimbulkan birokrasi baru. Ketentuan ini hanya menguntungkan PPIU yang domisili perusahaannya berada di Jakarta.

“Padahal tidak semua PPIU berdomisili perusahaan di Jakarta, namun tersebar di seluruh Indonesia, sehingga seharusnya kebijakan yang diskriminatif ini tidak diterapkan. Selain itu keberadaan Kanwil Agama setempat sudah mewakili representasi pemerintahan pusat,” sebutnya.

Begitu pula Pasal 89 RUU Cipta Kerja, telah mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana secara substansi isi RUU Cipta Kerja sangat bertentangan dengan pasal 27 (2) dan pasal 28D (2) UUD 1945, karena menghilangkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, yaitu:

a. Terkait dengan Upah Minimum

Konsep dasar dari fungsi upah minimum ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. Upah Minimum diberikan atau berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Penetapan Upah Minimum didasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan. Berdasarkan hal ini maka standar KLH setiap satu daerah dengan daerah lainnya bisa berbeda tergantung pada pendapatan setiap daerah, daya beli masyarakat dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya penetapan Upah Minimum seharusnya menjadi kewenangan bukan saja Gubernur untuk UMP tingkat Provinsi tetapi juga Bupati/Walikota untuk UMP tingkat Kabupetan/Kota. Karena tujuannya sebagai jaring pengaman dan memenuhi kebutuhan layak pekerja, maka penerapan Upah Minimum bersifat wajib bagi seluruh sektor usaha.

b. Terkait dengan Upah

• Upah menjadi pekerja selama terikat dalam perjanjian kerja. Tidak masuk kerja tidak boleh menjadi alasan tidak dibayarkannya upah kepada Pekerja. Pekerja yang tidak masuk kerja dengan alasan-alasan sebagai berikut tetap berhak atas upah.

• Terkait Kebijakan Pengupahan Nasional

• Kebijakan Pengupahan Nasional yang akan disusun oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah tidak boleh menetapkan perihal nominal Upah Minimum yang menjadi kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk menetapkannya.

• Kebijakan Pengupahan Nasional mengatur perihal upah untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja secara layak dan memenuhi harapan pekerja dan pemberi kerja dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang baik.

c. Terkait Waktu Kerja

• waktu kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam seminggu merupakan syarat limitatif perihal waktu kerja yang ditentukan oleh Undang-Undang. Oleh karena itu dalam hal pengusaha hendak melakukan pengecualian terhadap waktu kerja yang melebihi waktu kerja tersebut wajib mendapatkan izin dari dinas tenaga kerja setempat dan memberikan upah lembur kepada pekerja.

d. Terkait Pesangon

• RUU Cipta Kerja hanya mewajibkan pengusaha memberikan uang pesangon dan atau uang penghargaan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Sedangan dalam undang-undang ketenagakerjaan, pengusaha selain memberikan kedua hal tersebut, juga diwajibkan memberikan uang penggantian hak yang seperti hak cuti, hak ongkos transportasi, uang perawatan dan pengobatan.

• RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan pasal asal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 UU ketenegakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua kali lipat.

e. Penggunaan tenaga alih daya (outsourcing) harus dibatasi pada pekerjaan tertentu saja yakni pekerjaan yang sifatnya penunjang (bukan pokok) dan hanya berlaku bagi perjanjian kerja waktu tertentu.

f. terkait dengan penempatan Tenaga Kerja Asing

• Liberalisasi penempatan TKA yang mempermudah penempatan TKA di Indonesia namun mengeliminasi penempatan dan /atau meminimalisasi kesempatan bekerja TKI di tanah air secara sistemik sesungguhnya telah dilakukan oleh Pemerintah melalui pengundangan beberapa regulasi di tingkat Peraturan Menteri dan/atau Keputusan Menteri. Demikian halnya dengan prinsip dan asas hukum yang menyatakan bahwa penempatan TKA hanya hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan dan/atau jabatan-jabatan tertentu khusus yang tidak dapat dilakukan oleh TKI, telah dilanggar oleh Pemerintah.

• Hingga saat ini pembatasan terhadap jabatan yang tidak dapat diisi oleh TKA hanyalah jabatan yang mengurusi personalia.

• Pengundangan RUU Cipta Kerja dapat dipastikan mengekalkan liberalisasi TKA di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Komite III DPD RI menolak RUU Cipta Kerja dan meminta DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja karena RUU Cipta Kerja hanya dominan dalam peningkatan investasi tanpa mempertimbangkan hak-hak pekerja, asas desentralisasi, dan aspek lainnya.

“Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja cacat formil karena tidak melibatkan unsur partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, junto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019,’ tegas Rahman. (Rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *