Kewenangan Baru OJK, Harus Lebih Memberikan Perlindungan Kepada Masyarakat

by
Politisi perempuan PKS, Anis Byarwati.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Byarwati memberikan catatan khusus kepada Dewan Komisaris OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada Rapat Komisi XI DPR RI dengan OJK tentang Perkembangan Industri Jasa Keuangan di tengah situasi Covid-19. Pada rapat yang digelar Selasa, 7 April 2020 secara virtual ini, Anis menanyakan kesiapan OJK dalam menjalankan kewenangan baru yang diberikan pemerintah kepada OJK.

“Sejauh mana OJK telah menyiapkan human resources nya dan SOP (Standard Operasional Prosedur) yang handal, supaya kewenangan ini dapat digunakan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan,” tanya Anis melalui keterangan tertulisnya, Rabu (8/4/2020).

Kewenangan baru yang diberikan pemerintah kepada OJK yang dimaksud adalah OJK sebagai otoritas yang dapat memberikan perintah tertulis kepada Lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, pengambilalihan, integrasi dan atau konversi.

Sebagaimana diketahui, pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, Pemerintah memberikan empat poin kewenangan dan pelaksanaan kebijakan pada OJK, yaitu pertama; memerintahkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk melakukan/menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/ atau konversi dan memberikan sanksi atas pelanggarannya.

Kedua; memberikan izin untuk OJK dapat membuka ruang pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan system elektronik. Ketiga; mengecualikan prinsip keterbukaan di bidang Pasar Modal dalam rangka pencegahan dan penanganan dalam krisis sistem keuangan untuk menghindari dampak negatif dari pelaksanaan prinsip disclosure.

Dan keempat; memberikan perlindungan hukum bagi pengawas sektor jasa keuangan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya dan mengambil langkah pengawasan.

Terkait dengan kewenangan baru tersebut, Anis juga mempertanyakan poin ketiga yang tidak menyebutkan status dari pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) yang terkait dengan prinsip keterbukaan.

Menurut Anis, wewenang OJK yang diberikan pada perppu tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dalam UUPM yaitu kewajiban pihak tertentu untuk memenuhi kewajiban prinsip keterbukaan. Pihak tertentu dijelaskan dalam penjelasan adalah sebagai emiten atau perusahaan public yang memiliki pernyataan pendaftaran telah menjadi efektif untuk mengikuti pasar modal.

“Bagaimana penjelasan detail dari OJK mengenai kondisi-kondisi yang memenuhi syarat ketika prinsip keterbukaan dapat dikecualikan?” ungkapnya menanyakan.

Sebagai penutup, Anis meminta OJK untuk tetap menjunjung tinggi fungsinya dalam memberikan perlindungan pada konsumen.

“Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan menimbulkan asymmetric information untuk masyarakat khususnya pemodal, yang pada akhirnya dapat merugikan sehingga penggunaan wewenang ini harus dengan pertimbangan yang matang,” tegasnya mengakhiri. (Rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *