Oleh: Agus Widjajanto (Praktisi hukum,dan penulis esai sertai pemerhati masalah sosial budaya politik hukum dan sejarah bangsanya)
DINAMIKA masyarakat dalam menyikapi pengesahan Undang-Undang TNI, yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, khususnya beberapa pasal yang dianggap oleh sebagian kalangan, terutama mahasiswa, pegiat sosial, dan akademisi, sebagai representasi kembalinya Dwi Fungsi TNI seperti pada masa pemerintahan Orde Baru.
Beberapa pasal yang disahkan oleh DPR RI dalam revisi Undang-Undang tentang TNI mencakup Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53. Pasal 3 menyangkut kedudukan TNI dalam strategi pertahanan dan administrasi di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
Pasal 7, yang banyak dikhawatirkan oleh mahasiswa, akademisi, serta pegiat hak asasi manusia, menyangkut tugas dan operasi militer selain perang yang bertambah dari 14 kewenangan tugas menjadi 16 kewenangan tugas. Dua tambahan tersebut adalah membantu menanggulangi ancaman keamanan siber serta membantu melindungi dan menyelamatkan WNI di luar negeri. Hal ini masuk dalam ranah alat pertahanan, yang memang wajar menjadi domain dari TNI.
Sedang Pasal 47 mengatur tentang kementerian/lembaga negara yang dapat diisi oleh personel TNI aktif tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun. Dari sebelumnya 10 kementerian/lembaga, bertambah menjadi 14, yaitu dengan tambahan posisi di:
1. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
2. Badan Keamanan Laut (Bakamla)
3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
4. Kejaksaan Agung
Sebenarnya, poin-poin dalam Pasal 47 ini bukan hal baru. Sejak dulu, TNI telah diperbantukan di perbatasan dan BNPT dalam penanggulangan terorisme karena menyangkut keamanan serta pertahanan negara. Begitu pula di Kejaksaan Agung, di mana posisi Jaksa Agung Muda Intelijen sering diisi oleh personel militer untuk membantu operasi intelijen. Demikian pula di Bakamla, yang sebagian besar personelnya berasal dari TNI AL aktif.
Pasal 53 menyangkut penambahan usia aktif dalam jabatan. Menurut penulis, hal ini sangat wajar, karena bagi perwira tinggi dengan pangkat bintang dua, tiga, atau bahkan empat, usia 60 tahun merupakan puncak kapabilitas, dengan pengalaman yang matang dan kondisi fisik yang masih kuat.
Masyarakat sering kali tidak adil dalam menilai suatu kebijakan. Mereka cenderung melihatnya hanya dari sudut kepentingan sendiri. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, khususnya Pasal 28 Ayat 3, disebutkan bahwa setiap anggota Polri yang menduduki jabatan sipil di luar institusi Polri harus mengajukan pensiun dini. Namun, tidak ada reaksi besar dari mahasiswa, akademisi, atau pegiat hak asasi manusia, meskipun ada sekitar 59 perwira Polri yang menduduki jabatan di berbagai lembaga maupun kementerian. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sejalan dengan kewenangan Presiden serta Kapolri untuk membantu jalannya roda pemerintahan.
Menurut berita dari Tempo, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan mutasi besar-besaran pada 12 Maret 2025. Dari 1.225 personel yang dipindahkan, 25 perwira ditempatkan di berbagai kementerian dan lembaga sipil.
Jabatan Sipil yang Bisa Diisi Polisi
Berdasarkan Pasal 19 Ayat 4 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), personel Polri dapat mengisi posisi di 11 kementerian dan lembaga, antara lain:
1. Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara
2. Sekretariat Militer Presiden
3. Intelijen Negara
4. Sandi Negara
5. Ketahanan Nasional
6. Pencarian dan Pertolongan Nasional
7. Penanggulangan Narkotika Nasional
8. Penanggulangan Bencana Nasional
9. Penanggulangan Terorisme
10. Pemberantasan Korupsi
11. Keamanan Laut
Namun, dalam mutasi terbaru, ada sejumlah perwira polisi yang ditempatkan di luar daftar yang diatur dalam UU ASN, seperti:
Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono – Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah
Inspektur Jenderal Yudhiawan – Kementerian Kesehatan
Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal – Dewan Perwakilan Daerah RI
Inspektur Jenderal Djoko Poerwanto – Kementerian Lingkungan Hidup
Brigadir Jenderal Ruslan Aspa – Badan Pengusahaan Batam
Brigadir Jenderal Edi Mardianto – Kementerian Dalam Negeri
Komisaris Besar Yulmar Try Himawan – Bank Tanah
Brigadir Jenderal Raden Slamet Santoso – Kementerian Olahraga
Brigadir Jenderal Moh. Irhamni – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Sebelumnya, pada 14 Februari 2025, Polri juga memutasi 10 perwira tinggi ke jabatan sipil lain, di luar daftar yang diatur dalam UU ASN, termasuk:
Komisaris Jenderal Yan Sultra Indrajaya – Inspektur Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
Komjen Pol Rudy Haryanto – Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Inspektur Jenderal Alexander Sabar – Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital di Kementerian Komunikasi dan Digital
Brigadir Jenderal Achmadi – Kementerian Ekonomi Kreatif
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pernah mengkritik keputusan Kapolri Listyo Sigit. Namun, setelah itu, isu ini tidak lagi menjadi sorotan besar.
Hal ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi akademisi, pejabat sipil, dan seluruh masyarakat. Faktanya, sipil tampaknya belum siap mengisi jabatan-jabatan strategis, sehingga untuk sementara harus diisi oleh TNI dan Polri.
Marilah kita bangun negeri ini dengan damai dan bekerja keras. Jangan sedikit-sedikit melakukan demonstrasi yang justru mengganggu aktivitas masyarakat. ***