GIORGIO Moroder pernah dikagumi khalayak dunia. Karyanya, yang diperuntukan untuk Piala Dunia (World Cup) 1990 sangat disukai, sekaligus dikagumi.
“To Be Number One”. “Jadilah Nomor Satu”. Demikian lagu resmi Piala Dunia 1990 Italia. “To be number one. Running like the wind. Playing hard but always playing fair”.
Demikian fragmentasi, yang begitu dalam (indepth). Begitu bermakna, lewat syair yang mengingatkan. Kemenangan tak boleh tercederai oleh ‘moral hazard’ (niat buruk). Tercederai oleh paksaan mencapai tujuan. “Playing fair”.
Drama ‘terjatuh’ pemain-pemain Bahrain, drama kesakitan agar wasit memberi hukuman, akhirnya mendapat ‘hukum sosial’, dan ‘sanksi sosial oleh publik maya (digital). Tak berhenti kecaman ‘mata telanjang’. Terbaca jelas. Wasit dan pemain Bahrain, seperti berbicara batin.
Belum jera, Tim sepakbola berjuluk “Mutiara Teluk” (Bahrain) ini, meminta pertandingan ‘away’ dipindahkan ke negara netral. Drama seolah Indonesia tidak aman untuk pertandingan tandang mereka, di-eksplisit-kan oleh Jepang dan Arab Saudi.
Pertandingan ‘sukacita’, sekalipun Indonesia kalah 0-4 oleh Jepang. Tak ada ancaman ke pemain, tak ada lemparan minuman kemasan, tak ada sinar laser ke pemain tamu.
Seperti dilakukan oleh penonton Bahrain di Kota Manama (Ibukota Bahrain), saat kalah 0-5 dari Jepang. Penonton mengarahkan sinar laser dan meniup peluit pengganggu konsentrasi, dari tribun.
Pertandingan ‘leg’-1 Indonesia vs Bahrain di Manama (Bahrain) adalah ‘moral hazard’. Wasit Ahmed Al Kaf (Oman), dan pemain Bahrain, tidak “playing fair”.
Sebagai contoh aktual. “Keberhasilan di atas ketimpangan (moral hazard), akan berumur pendek”. Demikian seorang visioner, penulis, dan teoritikus sistem AS, Richard Buckminster Fuller mengingatkan.
Apa yang diinginkan Bahrain menjadi linear. Dengan yang dialaminya dalam perjalanan menuju Piala Dunia 2026 (AS, Meksiko, dan Kanada). Kemenangan 2-1 (‘leg-2) nyaris diraih Bahrain, namun Australia menyamai 2-2 di satu detik terakhir, lewat sepakan Kusini Yengi.
“Moral hazard”, berumur pendek, prematur. Bahrain memetik “azab”.
Giorgio Moroder, atau lengkapnya Giovanni Giorgio Moroder mengingatkan. “Playing fair”. Moroder (84), yang merupakan penyanyi, penulis, sekaligus produser asal Italia, telah memelopori “Italo Dasco. Berupa musik dansa elektronik. “To Be Number One” kemudian memanggilnya. Terciptalah lagu keren ini.
Dulu semasa kanak-kanak, saya selalu menyempatkan datang ke Stadion Utama Senayan (sekarang GBK). Sesaat Timnas Indonesia kalah adu penalti lawan Korea Utara (1976), atau ketika Timnas Indonesia dibantai 0-6 dari PSV Eindhoven (Liga I Belanda) tahun 1971. Penonton sudah meninggalkan bangku, meski “matchday” belum usai.
Kekalahan adalah “kedukaan”. Kekalahan adalah kepedihan. Hari itu, saat dibantai Timnas Jepang 0-4, semua “menangis”.
Namun, penonton tidak meninggalkan Stadion GBK. Kepedihan itu mereka singkirkan, mereka ubah menjadi spirit, lewat lantunan lagu “Tanah Air”. Semua menonton drama “kolosal ini”.
Semua terheran-heran. Kalah, tetapi tetap gembira, dan malah tertib. Bukan menangis, justru bernyanyi bersama dalam simfoni spirit. Lagu “Tanah Airku”, yang diciptakan tahun 1927 oleh Sarijah Bintang Sudibyo (Ibu Sud) membuat dunia terpana.
Pertandingan ‘leg-1’ (home) versus Jepang. Bagi Indonesia, adalah pertandingan penting untuk menjaga ‘asa’. Meski bermain baik dan menarik, kekuatan Rangking 15 FIFA ini belum bisa ditahan Indonesia (127 FIFA).
Lagu “Tanah Airku”, yang memiliki lirik dengan makna “menghimbau” pulang pemuda “rantau jauh”. Bermakna sangat dalam.
Spirit Kelahiran Sukabumi 26 Maret 1908 ini, ingin memanggil para diaspora (cerdik pandai) membangun “Tanah Airku”. Tentu kontekstual bagi: Calvin Verdonk, Ragnar Oratmangoen, Sandy Walsh, Raffael Struick, Jay Idzes.
“Tanah Airku” membangkitkan adrenalin di pertandingan berikutnya. Benar saja, empat hari kemudian (19 November), di tempat yang sama (Stadion GBK). Ragnar Oratmangoen dkk, “menghabisi” rangking 59 FIFA, Arab Saudi (2-0).
Bagaimana mungkin lagu “Tanah Airku”, bisa mengubah rasa inferior (rendah diri), setelah kalah telak 0-4. Secepat kilat mengalami ‘recovery’ menjadi kekuatan. Mengapa?
Sedikit berteori ke alam sosiologis. Auguste Comte, filsuf Perancis (1798-1857) dalam bukunya “Cours De Philosophie Positive” mengatakan. Tahap metafisis adalah satu gejala terdapatnya kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya.
Lagu “Tanah Airku”, dengan syair: “I have not forgotten my homeland. Will be remembered during my life. Event if i go far. It won’t go away. From the heart. My homeland that i love you. I cherish You are”, sangat mempengaruhi “recovery” Timnas.
Tersirat kabar, Federasi Sepak bola dunia (FIFA) yang berpusat di Zurich (Swiss). Ingin menjadikan lagu “Tanah Airku”, sebagai salah satu lagu pembuka (ceremony) Piala Dunia 2026.
Apa yang dunia saksikan di negeri “gila bola” ini, cukup beralasan. Kekalahan Timnas Indonesia vs Jepang, tidak memupuskan kecintaan publik terhadap timnasnya. Ini “amazing”, kira-kira begitulah konklusinya.
Asa lolos Piala Dunia, adalah sebentuk kerinduan yang “manis”. Mendaki ke puncak (Piala Dunia), akan menemukan segala “kemewahan” sepak bola.
“Tanah Airku”, akan mengalahkan: Bahrain, China, dan Australia. Lalu draw dengan Jepang. Indonesia lolos ke Piala Dunia?
Ibu Sud lewat “Tanah Airku”, punya kontribusi terhadap kebangkitan sepak bola Indonesia.
*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co)