Pengamat Militer Ini Tekankan Pentingnya Network Centric Warfare dalam Manajemen Pertahanan Indonesia

by

BERITABUANA.CO, JAKARTA- Pengamat Militer dan Intelijen, Susaningtyas NH Kertopati mengatakan bahwa manajemen pertahanan Indonesia penting untuk mengadopsi teknologi peperangan terkini yakni operasi multidimensi yang berbasis Network Centric Warfare/NCW.

“Network Centric Warfare sangat penting sebagai sistem komando dan pengendalian yang fokus pada penggunaan teknologi informasi mutakhir berbasis komputer yang terintegrasi dalam satu sistem komputer atau digital,” kata Susaningtyas Kertopati.

Hal itu disampaikan Susaningtyas Kertopati dalam Bincang Ringan Pertahanan ‘Refleksi Akhir Tahun: Quo Vadis Manajemen Pertahanan?’ yang diselenggarakan oleh Prodi Manajemen Pertahanan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) Sabtu (30/12/2023).

NCW ini adalah metode peperangan yang berbasis pada konektivitas jaringan komunikasi dan data secara real time dari markas ke unit-unit tempur dan sebaliknya.

“Tujuan utamanya adalah terjadinya pertukaran informasi penting secara cepat atau real time, akurat, dan berkelanjutan mengenai kondisi terkini sehingga terwujud speed command dalam merespons setiap ancaman keamanan. Termasuk tercapainya keunggulan informasi, ” tutur Nuning sapaan akrab Susaningtyas Kertopati.

Dalam kesempatan itu, Nuning ikut menyinggung mengenai lingkungan strategis saat ini di mana ketegangan Amerika Serikat dan sekutunya yang mengusung kebebasan navigasi dengan klaim China atas Laut China Selatan (LCS).

“Indonesia perlu menegaskan posisinya untuk tidak menjadi objek perebutan global , namun menjadi pemain di kawasan dengan mendorong dan menjaga sentralitas ASEAN serta menekankan kehadiran kekuatan militernya di Zona-zona luar sebagai daya tangkal)(deterrence), ” jelasnya.

Nuning juga mengamati terkait gerakan insurgensi di Papua di mana aktor utamanya adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sedangkan metode militer dilakukan oleh TPN OPM dengan taktik gerilya skala kecil.

Menurutnya, kunci utama untuk mengalahkan insurgensi adalah negara harus mampu merebut dukungan publik baik lokal, nasional, dan internasional.

“Serta menggunakan kekuatan minimum (minimum force) untuk menghindari korban kolateral anggota masyarakat yang tidak diperlukan sehingga masyarakat tidak antipati terhadap negara dan memberi simpati kepada kelompok insurgensi, ” ujarnya.

Mantan Anggota Pertahanan DPR ini menambahkan bahwa manajemen pertahanan Indonesia juga perlu mewaspadai bentuk peperangan gaya baru seperti perang berskala kecil, perang zona abu-abu, perang asimetris, perang gerilya, dan perang nonkonvensional.

“Jenis peperangan ini mencari kemenangan dengan mengikis kekuatan lawan, bukan dengan konfrontasi secara langsung. Indonesia sebagai negara yang memiliki permasalahan struktural seperti kemajemukan, kemiskinan dan ketimpangan terhadap layanan dasar, maka hal ini perlu diwaspadai. Sebab, yang menjadi target adalah menciptakan konflik dan distrust dalam populasi suatu negara yang berujung pada instabilitas kemanan nasional suatu negara, ” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama, Kelembagaan, Inovasi dan Teknologi, Unhan RI, Mayjen TNI Susilo Adi Purwantoro mengatakan pentingnya sistem pertahanan negara (Sishaneg). Menurutnya, Sishaneg tersebut mencakup pertahanan militer dan nirmiliter.

“Hal itu sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI,” katanya.

Selanjutnya, Prof. Anak Agung Banyu Perwita menyoroti terkait managemen Pertahanan. Menurutnya, managemen Pertahanan menjadi sangat strategis.

“Sistem Pertahanan negara itu terdiri dari Pertahanan militer dan non militer, ” katanya. (Fadloli)