Fahri Hamzah Minta Semua Pihak Terima Konsekuesi dari Situasi Politik Sekarang

by
Wakil Ketum Partai Gelora, Fahri Hamzah. (Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan, bahwa sistem presidensial 20 persen tidak menciptakan koalisi rasional, tetapi koalisi irasional lebih banyak. Karena semua ingin memenuhi tiket 20 persen, sehingga berkumpulah orang-orang yang banyak anomalinya, seperti di Koalisi Perubahan ada dua partai yang masih di dalam kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin

“Mereka ikut programnya Pak Jokowi, tapi menyebut dirinya antitesis Pak Jokowi dan mengusung perubahan,” sindir Fahri Hamzah dalam Gelora Talks bertema ‘Sah! Prabowo-Gibran: Membaca Peluang dan Tantangannya’, dikutip Kamis (26/10/2023).

Demikian juga dengan PDI Perjuangan yang menurut Fahri, tetap menyebut kelanjutan dari pemerintahan Jokowi, tetapi tidak berada dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM.

“Harusnya mereka secara rasional menyusun langkah persaingan politik, tetapi munculah hal-hal yang tidak rasional yang bersifat simbolik,” katanya lagi.

Hal itu, lanjut Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 tersebut, terjadi karena memang sistemnya tidak mengatur, seperti tidak adanya debat calon presiden (capres) yang dilakukan sejak awal oleh para ketua umum partai atau juru bicara.

“Inilah problematik kita sekarang, sehingga menciptakkan hal-hal tidak rasional dan simbolik. Sejak awal kami sudah mengusulkan agar konstetasi ini berbasis kabinet, koalisi besar 2019-2024 antara yang sedang berkuasa melawan siapa penantangnya. Kan akan lebih asyik sekali pertarungan kalau begitu,” ujar Fahri lagi.

Namun, disayangkan koalisi besar yang menggagas bersatunya Jokowi-Prabowo tersebut, sekarang terpecah menjadi tiga capres, yakni pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

“Karena memang sudah pecah tiga, dan mungkin bisalah yang sebelah disebut sebagai penantang. Bagusnya setelah menyebut dirinya penantang keluar dari kabinet dan betul-betul menantang jalannya pemerintahan,” katanya.

Karena itu, Fahri menilai keinginan untuk rekonsiliasi dan keberlanjutan pemerintahan Jokowi ada di pundak pasangan Prabowo-Gibran, bukan di pasangan Ganjar-Mahfud, apalagi pasangan Anies-Muhaimin.

“Mudah-mudahan para pengamat bisa mengkritisi situasi ini, karena memang alur dari cara berpikir pembentukannya kira-kira seperti itu. Ada sisi rasionalnya dan ada sisi irasionalnya. Politik itu memang tidak pernah sepenuhnya rasional, karena variabel-variabelnya begitu banyak dan kompleks,” imbuhnya.

Fahri menegaskan, apabila Partai Gelora masuk ke Senayan, akan lakukan pembenahan sistem pemilu, terutama yang mengatur soal treshold 20 persen. Namun bukan hanya itu juga yang harus dibenahi misalnya, partai pendukung yang tidak mempunyai tiket, tetapi mendukung salah satu pasangan capres, harus dimasukkan ke dalam kertas suara.

“Kami sudah tidak bisa mengusung capres sendiri, kita mendukung pun di kertas suara tidak ada. Logo Partai Gelora tidak ada, kan aneh. Padahal kita mendukung Prabowo-Gibran, tapi di kertas suara tidak ada Partai Gelora. Inilah bagian dari konsekuensi dari situasi politik sekarang dan harus kita terima. Hal-hal inilah yang kita perjuangkan untuk dilakukan perubahan Sistem Pemilu,” tegasnya.

Fahri mengatakan, sebagai partai politik yang mengusung gagasan dan narasi, Partai Gelora membuka ruang dialog untuk beragumen mengenai ideologi seperti menggelar diskusi Gelora Talks setiap pekan yang kini telah memasuki episode ke-109, dengan mengundang berbagai narasumber yang berkompeten. Gelora Talks adalah bagian dari kontribusi partai nya untuk memberikan pencerahan kepada publik.

“Jadi ketika ada partai beragumen tentang ideologi, maka dia harus punya keberanian untuk membuka dialog yang substantif ya tentang formulasi apa sistem yang kita tawarkan,” ujarnya.

Calon Legislatif (caleg) DPR RI Partai Gelora untuk Dapil Nusa Tenggara Barat I itu pun berharap nantinya Partai Gelora dapat membentuk satu fraksi, sehingga dialog-dialog tentang ideologi akan semakin diintensifkan, termasuk dialog mengenai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ideal.

“Sekarang kita sudah punya tiga pasang, ya enam orang itu semuanya itu diselimuti oleh banyak hal yang tidak ideal, tetapi sudah kita putuskan. Mudah-mudahan akan membuka jalan ke depan untuk menghasilkan satu perubahan yang baik secara bertahap,” pungkas Fahri Hamzah. (Ery)