Agus Widjajanto: Putusan MK Terkait Usia Capres-Cawapres, Ambivalen

by
Praktisi hukum dan pemerhati sejarah Agus Widjajanto SH.MH. (Foto: Istimewa)

BERIRABUANA.CO, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kepala daerah yang pernah atau sedang menduduki jabatan meskipun berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden mendapatkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Putusan MK juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

“Saya melihat putusan MK ambivalen, ada ketidakkonsistenan pada diri Mahkamah Kontitusi sebagai penjaga Kontitusi dan Demokrasi,” terang Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud, Agus Widjajanto SH MH, dihubungi media, Rabu (18/10/2023)

MK pada Senin 16 Oktober 2023 kemarin, memutus empat uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, utamanya terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dari empat permohonan tersebut, tiga gugatan masing-masing Nomor 29/PUU-XXI/2023 (PSI), Nomor 51/PUU-XXI/2023 (Partai Garuda) dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 (Walkot Bukittinggi dkk) dinyatakan ditolak.

Sementara satu permohonan terakhir, yakni Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta (UNS) Almas Tsaqibbirru dikabulkan sebagian oleh MK. Almas Tsaqibbirru merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2019 dan putra dari Koordinator MAKI Boyamin Saiman.

Lebih jauh Agus Widjajanto mengungkapkan, jika dibandingkan putusan terhadap batas minimal usia capres-cawapres dengan putusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold/PT 20 persen, ada ketidakkonsistenan MK. Padahal, kedua gugatan tersebut muaranya adalah sama-sama menegakkan demokrasi yang dianut Indonesia.

“Gugatan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang digugat beberapa pihak agar bisa nol persen, bukan 20 persen, bukankah ditolak MK? Padahal tujuannya juga sama, agar dapat tersalur demokrasi tanpa adanya batasan,” jelas Agus.

Pria asal Kudus, Jawa Tengah itu lantas menyoroti Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh satu Pemohon yakni Almas Tsaqibbirru. Dimana gugatan yang dilayangkan ke MK pernah dicabut oleh kuasa hukumnya pada Jumat 29 September 2023. Akan tetapi berselang sehari kemudian yakni Sabtu, 30 September 2023, Pemohon membatalkan pencabutan kedua perkara a quo itu.

“Kalau benar yang dikatakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, bahwa gugatan sudah (pernah) dicabut tapi kemudian dianulir, serta pihak penggugat tidak mempunyai kepentingan seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi Soehartoyo, hingga terjadi Desenting opinin, maka sungguh merupakan preseden buruk bagi MK sendiri sebagai Penjaga Demokrasi dan Penjaga Kontitusi,” ungkapnya.

“Bisa menjadi preseden buruk, kenapa? Karena aturan main dalam hukum acara yang sudah jadi pedoman sepanjang syarat formal tidak terpenuhi, maka secara materi tidak lagi dibahas apalagi dikabulkan,” sambung Agus lagi.

Agus Widjajanto menegaskan, bahwa yang diuji dalam gugatan MK adalah tentang batas paling rendah adalah 40 tahun. Kemudian sesuai petitum yang diajukan Pemohon Almas dengan meminta ditambahkan frasa ‘berpengalaman sebagai kepala daerah’, akan menimbulkan bias penafsiran dalam sebuah Undang-Undang.

“Karena di dalam Undang-Undang tidak ada tentang persyaratan pengalaman menjadi penyelenggara negara atau pengalaman kepala daerah,” urainya.

Terakhir, Agus Widjajanto menuturkan bahwa Perancis dalam Pemilihan Presiden 2022, Emmanuel Macron terpilih Presiden terrmuda pada usia 39 tahun. Namun ditegaskan bahwa terkait Emmanuel Macron ini bukan menyangkut usia muda atau tua, meski diyakini dia ketokohan Macron dalam usia muda menjadi Presiden bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda di Indonesia.

Akan tetapi dalam konteks menyangkut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyarakan batas minimal usia calon presiden dan wakilnya, sepatutnya pertimbangan hukum dalam uji materi di MK harus komprehensif. Bukan kemudian memunculkan kesan adanya kepentingan politik, misal terkait momentumnya yang kurang pas jelang Pilpres 2024 yang pendaftarannya tinggal sepekan lagi.

“Apalagi memakai frasa pernah menjabat kepala daerah bupati/walikota/Gubernur, harusnya pertimbangannya untuk semua warga negara, yang sama kedudukannya di dalam hukum sesuai diatur kontitusi tertulis kita,” pungkas Agus Widjajanto. (Ery)