IPW Minta Bareskrim Polri Tolak Permintaan Penghentian Kasus PT. Batuah Energi Prima

by
by
Erwin Rahardjo Direktur PT. Batuah Energi Prima (kanan) saat bersama Ismail Bolong (kiri, berbaju hitam). (Foto: */ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Indonesia Police Wacth (IPW) meminta Bareskrim Polri menolak permintaan penghentian penyidikan kasus dugaan pidana perusahaan tambang batubara PT. Batuah Energi Prima (PT. BEP), yang diajukan melalui penerapan restorative justice, dengan dalih telah telah terjadi perdamaian antara para pihak yang berperkara. Menurut IPW, Bareskrim Polri justeru harus segera menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Sekaligus menahannya untuk mencegah terjadinya perintangan penyidikan (obstruction of justice), antara lain dengan memakai modus playing victim.

“Meskipun penerapan restorative justice dimungkinkan berdasarkan ketentuan Perpol No. 08 Tahun 2021, namun perdamaian antara pihak yang berperkara dalam kasus PT. BEP yang berujung permintaan penghentian penyidikan itu, tak lebih merupakan upaya pengelabuan terhadap lembaga kepolisian, dengan mensarea ingin mengamankan hasil kejahatan barang milik negara berupa batubara yang masih ada di dalam perut bumi untuk dibagi-bagi antar kedua pihak yang nota bene adalah sama-sama pelaku kejahatan. Oleh karena itu, IPW mendesak Bareskrim Polri menolak dengan tegas permintaan penghentian penyidikan, dengan mempertimbangkan adanya kepentingan umum yang lebih luas yang perlu dijaga dalam perkara pidana PT. BEP ini, yang diduga telah merugikan negara sekitar Rp. 8,435 Triliun. Seharusnya iup op PT. BEP dicabut oleh Menteri ESDM RI” ujar Sugeng Teguh Santoso, SH kepada wartawan di Jakarta (8/6/2023), di Jakarta.

Berdasarkan catatan IPW, PT. BEP pernah jatuh ke dalam genggaman residivis lalu terlempar kedalam pelukan Terlapor perkara pidana. Bermula tatkala pada tanggal 13 Juli 2011, HBK, seorang mantan narapidana yang berstatus residivis, melalui Permata Resources Group mendapat fasilitas kredit dari Bank BRI Tbk sebesar US$ 17,627,937 yang kini berstatus macet kolektibilitas tingkat 5 dan/atau non-performing loan (NPL). Penggunaannya diduga disimpangkan untuk membeli 95% saham PT. BEP. Motif HBK menguasai mayoritas PT. BEP bertujuan agar dapat membobol PT. Bank Niaga TBK sebesar USD 70 juta, dengan menjaminkan barang milik negara berupa IUP OP PT. BEP No: 540/688/IUP-OP/MB-OP/MB-PBAT/III/2010 yang dikeluarkan Bupati Kutai Kartanegara tanggal 3 Maret 2010, yang batubaranya masih ada didalam perut bumi. Pada tahun 2012, HBK kembali membobol PT. Bank Bukopin Tbk sebesar Rp. 650 milyar. Tak lama kemudian HBK dipidana melakukan penipuan terhadap pengusaha Putra Mas Agung sebesar Usd 38,000,000,- dan Rp. 500 milyar.

Catatan kejahatan lainnya, selaku pemilik PT. Nusantara Terminal Coal, HBK tercatat hingga sekarang kurang bayar DHPB sebesar Rp. 919,144 milyar. PNBP – Penggunaan Kawasan Hutan sebesar Rp. 21,189 milyar. Jaminan reklamasi sebesar Rp. 18,223 milyar. Iuran Tetap (dead rent) sebesar Rp. 3,9 milyar. Dan ngemplang pajak sebesar Rp. 134,334 milyar. Sehingga pada fase PT. BEP dikelola HBK telah merugikan negara dan swasta sebesar Rp. 3,166 Triliun. Pada tahun 2016, dalam perkara penipuan No: 521/Pid.B/2016/PN.JKT.Pst jo putusan MARI No: 1442/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst , HBK divonis 4 tahun penjara. Dan pada tanggal 8 Juli 2021, kembali divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara penipuan yang lain, atas laporan pengusaha Putra Mas Agung.

PT BEP Jatuh ke Tangan Terduga Pelaku Pidana

Pada tanggal 04-09-2018, usai merugikan negara dan swasta sebesar Rp. 3,166 Triliun HBK, diduga sengaja mempailitkan PT. BEP, “bermufakat jahat” dengan ER, sindikat mafia kepailitan, asal Surabaya yang dikenal pula sebagai seorang Markus di Kepolisian era Sambo menjadi Kadiv Propam Polri. Tak butuh waktu lama pada tanggal 14-12-2018, PT. BEP pun dinyatakan pailit, berdasarkan Putusan No: 28/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Sby, menunjuk Dwi Winarko, SH, Hakim Niaga pada PN Surabaya sebagai Hakim Pengawas, dan mengangkat Yuda Yustisia, SH dan Suhasto, SH sebagai Kurator dan Pengurus.

Debut kejahatan pertama usai PT. BEP jatuh ke dalam pelukan Terlapor perkara pidana, ER melakukan penggalian dan penjualan batubara secara illegal yang terkonfirmasi berdasarkan bukti dokumen hasil Gelar Perkara LP No: LP/235/X/2021/Polda Kaltim/SPKTIII di Biro Wassidik Bareskrim Polri tanggal 26-04-2022. Tim Penyelidik Dirkrimsus Polda Kaltim melaporkan, sebelum RKAB PT. BEP (dalam pailit) Tahun 2019 disetujui oleh Dinas ESDM Prov. Kaltim, diketahui telah terjadi penggalian dan penjualan batubara secara illegal sebanyak 510,825 MT dan 335.828 MT. Keuntungan yang tidak sah dari kegiatan pidana illegal mining oleh PT. BEP yang diduga dilakukan ER, sebesar Rp. 1,8 Triliun. Pembayaran pembelian batubara illegal dari buyer antara lain HR Pte Ltd, PT. JMO, oleh ER, dilakukan dengan cara ditransfer ke PT. BEP (dalam pailit) dengan no rek 04137128700 di Bank Permata Syariah Jakarta dan PT. PP No rek: 1480099228887 di Bank Mandiri TBK milik P, tanpa pernah dilaporkan oleh Kurator kepada Hakim Pengawas. Sementara itu PT. SGE Tbk bertindak selaku pendana kegiatan illegal mining PT. BEP, uangnya bersumber dari kredit PT. BNI Tbk.

Kejahatan berikutnya, berdasarkan hasil audit dari Irjen Kementerian ESDM RI diketahui dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak 2020, sejak dikelola ER, PT. BEP telah melakukan dugaan penggelapan barang milik negara berupa batubara DMO sebanyak 1.002.000 MT. Menimbulkan kerugian negara sekitar Rp. 3 Triliun, yang merupakan hasil keuntungan penjualan batu bara yang yang tidak sah yang diduga dinikmati oleh ER, dan kawan-kawan, melanggar PP No: 96. Tahun 2021, Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 158 ayat (3), tidak mematuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri DMO. Sejak tahun 2019 hingga 2023, PT. BEP mendapatkan RKAB dengan jumlah total sebanyak 12.345.881 MT. Bila diasumsikan rata-rata per metric ton, ER dan kawan-kawan memperoleh keuntungan yang tidak sah minimal Rp. 200.000,- atau total sebesar Rp. 2,469 Triliun.

Pada tanggal 26-10- 2021, tanpa persetujuan HBK, berdasarkan kuasa substitusi dari Bank CIMB NIAGA Tbk yang ditandatangani Carvino Alexander dan Heru Prakoso yang tidak mempunyai kekuatan hukum, ER mendudukkan diri secara palsu sebagai Direktur PT. BEP (dalam pailit). Pada tanggal 27-10-2021 lalu merancang Nota Kesepahaman Rencana Perdamaian yang pada pokoknya seolah-olah dilakukan perdamaian antara PT. BEP, yang diwakili oleh ER, selaku debitur “palsu” dengan para kreditur yang diduga fiktip. Tak cuma itu. ER merekayasa piutang PT SDN, yang didalilkan secara palsu, dijual kepada PT. SBS sebesar Rp 1.138.057.727.943,2,-. Lalu PT. SBS dikonstruksikan sebagai “Kreditur”. Padahal PT. SBS tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar piutang (cessie) sebesar itu. BS, pemegang 99% saham dan Presdir PT SBS itu, sejatinya hanyalah seorang pedagang kopi rumahan — kolega P. Ironisnya, BS yang berprofesi pedagang kopi ini, oleh ER disandingkan dengan mantan Kapolri, Jenderal Polisi (Pur) Timur Pradopo, yang didudukan sebagai Komisaris Utama PT. SBS.

Setelah berhasil “membajak” manajemen PT. BEP (dalam pailit) selama empat tahun sejak 2019, ER berhasil mendapatkan RKAB total sebanytak 9.345.882 metric ton. HBK selaku “korban” tak terima. Lalu meminta stafnya bernama EJA melaporkan ER, sesuai LP No: LP/B/0754/XII/2021/SPKT/Bareskrim Polri tanggal 16-12-2021, dalam dugaan pidana Pemalsuan Surat dan/atau Menempatkan Keterangan Palsu Dalam Akta Otentik, dan/atau Membuat Akta Palsu dan/atau Pencucian Uang, sebagaimana yang dimaksud pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 264 KUHP dan/atau Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, dan sudah masuk ke tahap penyidikan. Nilai TPPU sebesar Rp. 8,435 Triliun inilah yang akan dibuktikan penyidik.

Usai Dirtipidum Bareskrim Polri meminta Dirjen Minerba memblokir Moms “PT. BEP” untuk kepentingan penyidikan pada tanggal 1 Maret 2023, ER “berdamai” dengan EJA selaku pelapor dan kuasa HBK. Lalu meminta penyidikan dihentikan melalui jurus restoratice justice. Namun, modus kuasa residivis berdamai dengan Terlapor perkara pidana ini haruslah ditolak oleh penyidik.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Ir. Ridwan Hisjam mendukung pendapat IPW. Menurutnya, Bareskrim Polri harus mengabaikan permintaan penghentian kasus dugaan pidana PT. BEP, dengan alasan adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor. Dan ternyata peristiwa tersebut ibarat perdamaian antara “Begal dan Garong” yang keduanya sebagai pelaku kejahatan. “Saya sudah mempelajari kasusnya, terdapat kejahatan yang dilakukan secara berlanjut, yang merugikan negara trilunan rupiah. Dan saya sudah usulkan kep-ada Menteri ESDM dan Menteri Investasi/Kepala BKPM, agar IUP OP PT. Batuah Energi Prima dicabut” tukasnya lagi. Oisa