#PolitikPetugasPedagang2024 (Panduan Tentang Siapakah yang Kita Pilih di 2024?)

by
Pilpres 2024. (Foto: Ist)
Fahri Hamzah. (Foto: Ist)

Dari twitter: @fahrihamzah.
(Waketum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia)

JIKA kita pedagang, Tekunlah kita sebagai pedagang, ciptakan lapangan kerja dan bayar pajak kepada negara yang banyak. Pragmatislah dalam memilih mana yg kalian jual dan mana yang kalian beli, yg penting untung. Buy low sell high. Itu mulia karena itu menciptakan inovasi dalam kehidupan.

Jika anda Politisi, jadilah politisi yang cerdas dan bermartabat. Ciptakan wacana yang membangkitkan kehormatan politik dan kepemimpinan. Tetaplah idealis meski itu tidak menghasilkan uang sebab hanya pedagang yg niat awalnya memang mencari keuntungan. Itu juga mulia karena kepemimpinan adalah teladan di depan.

Dalam politik, anda boleh kaya tapi kalau gagasan tidak ada biasanya jadi anak buah. Maksimal tukang bayar. Dalam politik yang sehat wal afiat, gagasan lebih dihormati dari harta benda. Bagaimana kalau anda tidak punya gagasan tapi harta benda hanya pajangan? Rumit sih..

Dalam dagang, asalkan anda mencium bau uang, semua bisnis bisa dimasuki. Kadang, keahlian tidak diperlukan sebab keahlian bIsa dibeli di pasar jasa dan tenaga kerja. Pedagang apabila sdh jadi pemodal maka uang adalah barang dagangan.

Jangankan partai politik dan idealisme, apapun bisa menjadi komoditas perdagangan. Karena itu, kewaspadaan diperlukan jika ternyata politik dan partai yg gagal membangun tradisi idealisme telah jatuh ke pasar pertukaran jasa yg murah.

Padahal, Kaderisasi para politisi (dlm parpol) di suatu negara adalah syarat kepemimpinan politik yg stabil dan kuat di hari hari ke depan negara demokrasi kita. Karena itu gejala orang2 kaya yg merasa punya hak politik lebih (karena merasa bisa bayar) dari kader biasa harus dihentikan.

Saya tidak mempersoalkan moral pedagang atau politisi. Kita hanya perlu waspada akibat buruk pencampuran. Ini pengalaman sejarah manusia, yang melihat akibat buruk pemusatan uang dan kekuasaan. Kuktur elite akhirnya meninggalkan rakyat.

Sementara, Kasian mereka yg sedari awal membangun dan membesarkan partai dari bawah. Mereka dilatih berkeyakinan kepada identitas dan karakter partai, lalu mereka bekerja siang malam membangun struktur partai sampai bawah akar rumput. Baru setelah itu merasa pantas jadi pimpinan dan dicalonkan.

Tiba-tiba di tengah jalan lewatlah orang-orang kaya yg tidak pernah belajar ideologi mereka dan bahkan juga tidak pernah dilatih untuk memikirkan negara. Tapi karena mereka orang kaya itu perlu tumpangan dan parpol semakin pragmatis juga gak punya kader, terjadilah transaksi yg aneh.

Ada partai baru seperti @partaigeloraid yg sejak awal menawarkan ide dan gagasan. Itu nampaknya yg membuatnya tidak mudah dilirik pragmatisme pedagang. Tapi mereka percaya bahwa “narasi lebih penting dari nasi”, demikian kata pak ketum @anismatta . Bukankah partai harusnya gitu?

Memang banyak yg sudah keruh dlm kultur politik kita. salah satu yg paling keruh adalah ekstrim Pragmatisme para pedagang ingin membeli partai politik dan tiketnya, di sisi lain ekstrim petugas partai yg lupa bahwa tidak ada petugas partai dalam jabatan publik di negara demokrasi.

Sementara itu, kaum yg katanya idealis semakin tipis. Mereka bersembunyi menjadi penulis atau komentator yang sinis. Jangankan menghargai atau malah terjun membangun basis dan kekuatan pergerakan politik, eh malah ikut2an prakmatis melalui tokoh-tokoh yg mereka anggap penyelamat!

Tokoh penyelamat ini dipuja bahkan metika ia sangat oportunis. Seolah, jalan baru bagi politik kita adalah oportunisme sebagai cara menghindar dari lelahnya membangun basis partai politik dan struktur kaderisasi yg punya efek demokratisasi secara masif. Jadi mau kemana kita?

Pemilu 2024 sekitar 10 bulan lagi. Dan sepertinya koreksi atas kekeruhan ini belum akan terjadi. Tapi setidaknya, mari kita berusaha membangun pikiran positif bahwa toh yang ideal harus diperjuangkan. Seandai esok kiamat pun, benih yg ada di tangan tetap harus kita tanam. ***