Dinamisme Kepemiluan Menjadi Masalah Mendasar Berdemokrasi di Indonesia

by
Anta Ovia Bancin. (Foto: Ist)

Oleh: Anta Ovia Bancin, S,pd*

TAK terasa sebelas bulan lagi Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Tahun 2024 akan menjadi tahun yang sangat memikat untuk banyak pihak yang memiliki berbagai kepentingan dalam Pemilu dan Pilkada sekaligus menjadi tahun pergantian kekuasaan besar-besaran.

Berbagai tahapan pemilu pun sudah berjalan hingga saat ini, membuat semua pikiran dan energi elite terpusat untuk suksesi 2024. Dampak Pemilu 2019 sepertinya masih belum selesai, masih ada banyak isu berkecamuk dan hangat diperbincangkan. Penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden menjadi isu paling seksi diperdebatkan oleh elite politik dan masyarakat.

Isu cebong dan kampret yang membelah, kontroversi politik identitas, catatan meninggalnya ratusan penyelenggara, termasuk unifikasi regulasi kepemiluan, gonjang-ganjing independensi dan integritas penyelenggara pemilu pada Pemilu tahun 2019 harusnya bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk semua lapisan masyarakat untuk berbenah.

Tiga bulan terakhir di tahun 2022, isu curi start kampanye menyeruak dan penyelenggara tidak adil dalam tahap verifikasi parpol sudah mewarnai proses demokrasi. Berbagai permasalahan saat proses seleksi Badan adhoc penyelenggara pemilu pun cukup menarik perhatian dan berbagai persoalan teknis dalam proses coklit juga masih jadi sorotan. Isu sistem pemilu pun tak luput dari perhatian elite politik.

Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang paling dinamis dalam mengubah sistem pemilu. Sejak Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama setelah era otoriter hingga Pemilu 2019, Indonesia setidaknya sudah tiga kali mengubah sistem pemilu. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup. Pemilu 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka. Pemilu 2009 hingga 2019 dengan sistem proporsional terbuka.

Tiga perubahan itu baru sebatas variabel sistem metode pemberian suara. Lainnya, pemilu Indonesia juga mengubah variabel sistem seperti ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, dan metode konversi suara.

Berbagai dinamisme perubahan sistem kepemiluan di Indonesia menimbulkan berbagai spekulasi kepentingan dengan pendekatan politik praktis dan pragmatis sehingga azas permusyawaratan dalam perwakilan sebagai landasan berdemokrasi di Indonesia menjadi topik hangat dirumah ruang perdebatan dan diskursus ilmiah hingga saat ini.

Sebagai penyelenggara pemilu pada lembaga pengawasan Pemilu, penulis menilai Indonesia punya permasalahan sistem pemilu yang mendasar. Pertama, pemilu menghasilkan parlemen multipartai ekstrem sehingga perjuangan para anggota parlemen selalu dinamis bukan pada jenjang kerja kerja ideologi partai. Kedua, partai politik berkualitas buruk dan belum dipercaya oleh masyarakat. Dua masalah mendasar ini lestari karena tahun 2022 tidak dijadikan momen perbaikan kerangka hukum kepemiluan dan partai politik. Padahal, Pemilu 2019 jadi pemilu yang amat buruk secara sistemik sehingga kompleksitasnya memakan ratusan korban jiwa.

Sistem kepartaian DPR Indonesia, sejak hasil Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, trennya adalah naik sebagai multipartai ekstrem. Pengertian multipartai ekstrem di sini adalah, terdapat lebih dari 5 partai relevan yang bisa mempengaruhi pemerintah dan pembentukan undang-undang. Hitungan ini berdasarkan rumus effective number of parliamentary parties (ENPP). Nilai ENPP 3 sampai 5, fragmentasi partai parlemen bersifat moderat. Nilai ENPP lebih dari 5, bersifat ekstrem.

Inilah menjadi faktor, hilangnya oposisi dalam DPR RI, rapuhnya ideologi partai di DPR RI, karena banyak partai yang persentase kursinya relatif imbang, sehingga bekerja berdasar tujuan mendapat jatah kekuasaan dan proyek pembangunan sebagai konsekuensi legislasi.

Penyimpangan kebijakan dan undang-undang pada bidang kepemiluan, terjadi juga di bidang lainnya. Kita bisa lihat bagaimana legislasi inisiatif Pemerintah seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang punya banyak catatan formil dan materil, bisa cepat sah tanpa ada dinimika berarti dari fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran DPR RI.

Harapan saya kedepannya sistem kepemiluan di Indonesia harus berfokus pada landasan filosofis berdemokrasi di Indonesia agar kedepannya tidak lagi merubah sistem kepemiluan yang terlalu dinamis sehingga menimbulkan berbagai masalah materil dan merugikan rakyat. ***

Penulis adalah Anggota Panwascam Kebon Jeruk, Jakarta Barat