BERITABUANA.CO, JAKARTA – Perekonomian masyarakat di sekitar lokasi pertambangan PT Citra Lampia Mandiri (CLM) yang selama ini kehidupannya bergantung pada kegiatan pertambangan mulai terganggu karena perputaran roda perekonomian masyarakat turut terhenti akibat berhentinya kegiatan pertambangan perusahaan tersebut.
Achmad Sobri, Kepala Teknik Tambang dari manajemen PT CLM di bawah pimpinan Direktur Utama (Dirut) Helmut Hermawan dalam pernyataannya yang diterima Senin (12/12/2022) mengatakan, terganggunya perekonomian masyarakat di sekitar pertambangan nikel di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan konsekuensi logis dari berhentinya kegiatan pertambangan PT CLM. Hal ini menyusul pengambilalihan dari pihak yang mengklaim sebagai manajemen baru.
Menurut Sobri, sebelum kegiatan pertambangan terhenti pada tanggal 7 November 2022, PT CLM setiap bulannya mengeluarkan biaya (operating cost) sebesar Rp 40 miliar untuk membayar berbagai kebutuhan barang dan jasa mulai dari kebutuhan logistik (makanan dan minuman), pengadaan komponen (spare part), sewa alat berat dan peralatan tambang lainnya, biaya energi (solar), sewa tempat tinggal karyawan, sewa kendaraan angkutan karyawan, sewa tongkang hingga uang saku untuk siswa-siswi PKL dan mahasiswa magang.
Berbagai kebutuhan barang dan jasa tersebut hampir seluruhnya disediakan oleh perusahaan dan masyarakat lokal di sekitar lokasi pertambangan di Malili. Dana sebesar Rp 40 miliar tersebut, kata Sobri, termasuk sangat besar untuk ukuran satu kecamatan seperti Malili. Perputaran dana sebesar itu di masyarakat Malili mampu menggerakkan roda kehidupan perekonomian masyarakat di sana sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Sebagian besar (hampir seluruh) biaya operating cost tersebut didistribusikan kepada tiga kontraktor utama yang semuanya merupakan perusahaan lokal yaitu PT Gunung Verbeck Karebbe, PT Pacific Energi Agung dan PT Magatti Internasional. Di bawah ketiga perusahaan kontraktor utama itu terdapat perusahaan-perusahaan subkontraktor yang mengerjakan pekerjaan tertentu di bawah koordinasi kontraktor utama dan semua biayanya ditagihkan ke PT CLM.
Sobri mengatakan, ketiga perusahaan kontraktor itu mempekerjakan tenaga kerja lokal yang 99% berasal dari 3-5 desa di Kecamatan Malili. Jumlah total tenaga kerja di tiga perusahaan kontraktor itu mencapai 900 orang sehingga dengan asumsi masing-masing pekerja memiliki satu istri dan dua anak maka jumlah penduduk Malili yang secara langsung penghidupannya bergantung kepada usaha pertambangan PT CLM mencapai 3.600 orang.
Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat Malili yang turut menikmati kue perekonomian sebagai imbas dari usaha pertambangan, namun tidak secara langsung bersentuhan dengan kegiatan usaha pertambangan seperti usaha penginapan, rumah makan/restoran, pariwisata dan lain-lain. “Kini, dengan berhentinya kegiatan pertambangan nikel, perputaran ekonomi yang selama ini dirasakan masyarakat Malili sudah tidak ada lagi. Tentu saja mereka juga turut menjadi korban,” tegas Sobri.
Secara terinci Sobri mengatakan pengeluaran biaya operasional bulanan perusahaan sebelum penghentian kegiatan tambang nikel PT CLM di Malili sebagian besar (80%) memang untuk sewa alat dan pengadaan spare part, yaitu sekitar 50% atau Rp 20 miliar untuk membayar sewa alat berat dan alat pertambangan lainnya dan 30% (sekitar Rp 12 miliar) untuk membeli spare part.
Selebihnya untuk pembelian bahan bakar solar (sekitar 1 juta liter per bulan senilai Rp 6,8 miliar), pengadaan logistik makanan/minuman senilai Rp 350 juta per bulan yang bekerjasama dengan BUMDES setempat, sewa tempat tinggal karyawan (khususnya untuk karyawan nonlokal), sewa kendaraan angkutan karyawan dan kontraktor (Rp 750 juta per bulan), dan untuk uang saku siswa PKL dan mahasiswa magang (Rp 20 juta per bulan).
Biaya sebesar itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendanai kegiatan Rencana Umum Pemberdayaan Masyarakat (RUPM) yang dulu dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) yang mencapai Rp 5 miliar per tahun. Dana sebesar itu digunakan antara lain untuk membiaya kegiatan Jumat Berkah, bedah rumah penduduk sekitar lokasi tambang, pembangunan rumah ibadah dan lain-lain.
Di luar dana-dana tersebut, , perusahaam masih memberikan kontribusi pemasukan bagi negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti yang pada tahun 2022 ini hingga akhir Oktober 2022 sudah mencapai Rp 176 miliar. “Semua dana tersebut, baik yang dikeluarkan sebagai biaya operasional perusahaan, dana RUPM maupun PNBP kini otomatis tidak ada lagi pasca berhentinya kegiatan pertambangan nikel,” kata Sobri.
Sementara itu, H. Arfah dari kontraktor PT Gunung Verbeck Karebbe mengatakan perusahaannya kini diambang kesulitan menutupi biaya kredit pengadaan alat berat untuk kegiatan penambangan nikel PT CLM menyusul belum dibayarnya invoice hingga bulan Oktober 2022.
Menurut H. Arfah, sampai saat ini manajemen yang baru dan para kontraktornya belum mencapai kata sepakat terkait dengan pembayaran tagihan sampai dengan bulan Oktober 2022 kepada para kontraktor. Kabar terakhir pihak perusahaan menawarkan opsi pembayaran tagihan tersebut pada saat dilakukan penjualan bijih nikel kepada pembeli dari kalangan perusahaan smelter nikel yang dijadwalkan sekitar bulan Januari 2023.
PT CLM adalah sebuah perusahaan dalam negeri yang berdiri sejak tahun 2007 dan bergerak di sektor pertambangan nikel laterit dmp dan merupakan perusahaan tambang dengan izin usaha penambangan (IUP) produksi nickel ore terbesar di Sulawesi Selatan sekitar 250 ribu MT per bulannya. (*/Ful)