Agar Tak Dijadikan Tumpangan Kepentingan Politik, Pj Kepala Daerah Harus Diawasi

by
Forum Legislasi bertajuk ‘Netralitas Pejabat Kepala Daerah Diuji Pada Pemilu 2024’, di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/11/2022). (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaua mengatakan, menghadapi  Pemilu 2024, berdasarkan aturan main yang menggariskan tentang keserentakan, maka suka atau tidak suka jabatan para kepala daerah Kabupaten, Kota, dan Provinsi yang berakhir masa jabatannya sebelum 2024, tidak bisa dilanjutkan.

“Selain itu, juga tidak ada kegiatan pemilihan kepala daerah (Pilkada), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016,” kata Guspardi dalam Forum Legislasi bertajuk ‘Netralitas Pejabat Kepala Daerah Diuji Pada Pemilu 2024’, di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/11/2022).

Apalagi, di tahun 2022 ada sebanyak 171 kepala daerah, dan di tahun 2023 ada 271 kepala daerah, sehingga terjadi kekosongan jabatan Bupati, Wali Kota dan Gubernur sebelum Pemilu 14 Februari 2024. Artinya, hampir seluruh Kabupaten/Kota dan Provinsi dijabat oleh Penjabat (Pj) Bupati/Wali Kota dan Gubernur yang tidak defenitif yang dipilih oleh rakyat berdasarkan Undang-Undang (UU). Di UU No. 5 Tahun 2014, ada penunjukan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, apakah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ataupun bapak presiden

“Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimanapun Pj ini tidak terlepas punya kepentingan yang ditumpangkan oleh orang yang menunjuknya,” ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Hal ini, menurut Guspardi yang menjadi persoalan bagaimana ke depan itu pemilu yang demokratis, pemilu yang tidak ada campur tangan pihak-pihak penguasa. Penguasa juga harus netral dan itu adalah sesuatu yang digariskan oleh Undang-Undang.

“Nah, tentunya peran media sangat menentukan bagaimana para Pj ini tidak berpihak kepada partai tertentu ataupun calon presiden dan wakil presiden tertentu. Ini adalah merupakan tugas dari seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu pengawasan terhadap hal ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh,” sambungnya.

Guspardi menegaskan, di UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sudah tegas menyatakan bahwa para ASN tidak boleh ikut dalam politik praktis. Namun kenyataan di lapangan belum tentu seperti itu. Oleh karenanya, perlu pendidikan kecerdasan kepada pemilih agar cerdas dalam menentukan pilihannya.

“Kami di komisi II DPR RI sudah melakukan kerja sama dengan KPU untuk melakukan itu dan alhamdulillah saya sudah turun ke lapangan meminta kepada seluruh elemen masyarakat agar kita menjadi pemilih cerdas, jangan mau diintervensi oleh pihak manapun,” ungkap Guspardi.

Tetapi yang menjadi persoalan adalah Pj ini, sambung Guspardi, akan punya otorita, mengingat dia adalah pejabat yang diberi amanah oleh negara, walaupun aturan-aturan main yang mengatur tentang itu sudah ditetapkan, berdasarkan data empiris sulit memisahkan antara jabatannya dengan kepentingan politik. Karena itu, pihaknya di Komisi II DPR RI sering mengingatkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan juga kepada pemerintah, agar orang-orang yang dipilih dan ditetapkan sebagai Pj adalah orang-orang yang punya integritas, yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun untuk dijadikan tumpangan kepentingan politik.

“Pasti semua kita akan merindukan Pemilu yang demokratis, Pemilu yang berintegritas, Pemilu yang jurdil, itu selalu disuarakan, tetapi baru dalam bentuk retorika. Kita berharap bahwa pemimpin bangsa ini harus menjadi negarawan. Ada kewajiban moral bagi kita untuk meningkatkan kualitas Pemilu ke Pemilu berikut,” pungkasnya. (Asim/Jimmy)